Buku 353 (Seri IV Jilid 53)

Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, Ki Gede yang baru saja mandi dan duduk di serambi sambil mendengarkan burungnya berkicau, terkejut ketika seorang pembantu di rumahnya memberitahukan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu datang untuk menemuinya.

“Ki Lurah?”

“Ya.”

“Sepagi ini? Dengan siapa?”

“Dengan Glagah Putih dan Sukra. Anak yang tinggal bersamanya itu.”

Ki Gede pun segera membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian, Ki Gede sudah menemui Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sukra.

“Ada apa?” bertanya Ki Gede.

Ki Lurah pun kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi dengan Sukra di tepian sungai.

“Jika demikian, panggil anak-anak itu. Aku akan memanggil Prastawa serta kedua orang anak Kapat Argajalu itu.”

“Tetapi agaknya anak-anak itu tidak akan berani bersaksi, Ki Gede. Anak-anak itu sudah diancam oleh Soma, siapa yang berani melaporkan peristiwa itu akan dibunuhnya.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku percaya kepada keterangan Ki Lurah. Aku percaya bahwa Sukra tidak berbohong. Tetapi jika tidak seorangpun yang berani bersaksi, aku akan mengalami kesulitan.”

“Aku mengerti, Ki Gede.”

“Tetapi aku akan mencobanya. Sekaligus untuk menguji kejujuran Prastawa sekarang, setelah Kakang Kapat Argajalu datang menemuinya.”

“Silahkan, Ki Gede. Akupun ingin mengerti, apakah Prastawa masih memiliki sifat-sifat ksatrianya, atau tiba-tiba saja telah diterbangkan angin.”

“Baik. Aku akan memanggil Prastawa dan kedua orang anak Ki Kapat itu.”

“Biarlah aku memanggil anak-anak itu, Ki Gede,” berkata Glagah Putih.

Ketika seorang pembantu di rumah Ki Gede pergi ke rumah Prastawa, maka Glagah Putih pun telah pergi dengan tergesa-gesa pula. Sukra telah menyebutkan beberapa nama yang semalam ikut berada di sungai itu pula.

Tetapi apa yang dikatakan oleh Sukra benar. Glagah Putih mengalami kesulitan untuk mendapatkan saksi.

Ketika Glagah Putih pergi ke rumah Supo. Yang menemuinya adalah ayahnya.

“Supi ada, Paman?” bertanya Glagah Putih.

“Supi masih tidur, Ngger,” jawab ayahnya.

“Apakah anak itu dapat dibangunkan? Aku akan minta tolong, Paman.”

“Minta tolong apa, Ngger?”

“Aku ingin Supi bersaksi, apa yang semalam terjadi di tepian atas Sukra.”

“Supi baru sakit, Ngger. Badannya panas dan dingin. Tetapi bersaksi tentang apa yang Angger maksudkan? Semalam Supi tidak pergi ke mana-mana. Ia tidur sejak sore.”

“Semalam ia berada di sungai bersama Sukra, Paman. Mereka sempat menutup pliridan.”

“Tidak. Supi tidak kemana-mana. Ia tidur bersamaku semalam suntuk. Kadang-kadang tubuhnya dingin sehingga Supi menggigil, meskipun sudah berselimut kain panjang rangkap tiga. Kemudian panas dan berkeringat, sehingga pakaiannya seakan-akan baru saja dicuci langsung dikenakannya.”

“Tetapi menurut Sukra, ia berada di tepian, Paman.”

“Tentu tidak mungkin. Supi baru sakit.”

Glagah Putih tidak dapat memaksa untuk mengajak Supi ke rumah Ki Gede. Karena itu, maka iapun berkata, “Baiklah, Paman. Aku minta diri.”

Dari rumah Supi, Glagah Putih pergi ke rumah Kuat Tetapi ketika Glagah Putih menyatakan maksudnya, Kuat itu pun menggeleng sambil berkata, “Aku tidak mau, Kakang. Aku tidak melihat apa-apa semalam Karena aku baru sibuk menutup pliridan.”

“Tetapi kau tahu, bahwa Prastawa dan kedua orang yang datang bersamanya telah memukuli Sukra?”

“Tidak. Aku tidak melihatnya. Nampaknya tidak terjadi apa-apa di sungai semalam.”

“Jangan begitu, Kuat. Jika kau mau bersaksi, maka orang-orang yang nakal itu dapat dihukum. Ia tidak melakukannya atas orang lain lagi nantinya.”

“Aku tidak tahu apa-apa, Kang. Jangan ajak aku ke rumah Ki Gede.”

Mata Kuat sudah menjadi basah dan kemerah-merahan. Karena itu Glagah Putih tidak dapat memaksanya. Jika Kuat menangis, maka orang yang melihatnya akan mempunyai dugaan yang mungkin keliru. Ia akan dapat dianggap menggoda anak-anak sehingga menangis.

“Baiklah,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika kau berkeberatan, aku tidak akan memaksamu.”

Ternyata bukan hanya Supi dan Kuat. Anak-anak yang lain juga keberatan, dan bahkan menjadi ketakutan untuk pergi ke rumah Ki Gede. Mereka takut karena ancaman Soma yang akan membunuh siapa saja yang berani melaporkannya.

Karena itu. maka Glagah Putih tidak berhasil mengajak seorang anakpun untuk menjadi saksi.

Ketika Glagah Putih kembali ke rumah Ki Gede, maka iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak seorangpun yang bersedia, Ki Gede.”

“Mereka benar-benar ketakutan atas ancaman orang yang bernama Soma itu,” berkata Sukra.

“Baiklah. Jika mereka nanti ingkar, kita terpaksa mencari jalan lain untuk membuktikannya,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Ketika sejenak kemudian Prastawa, Soma dan Tumpak datang, maka jantung Glagah Putih terasa berdetang semakin cepat  Rasa-rasanya ia ingin langsung menerkam seorang di antara mereka dan meremas lehernya.

Dengan tanpa merasa bersalah Soma dan Tumpak duduk pula di pringgitan sambil tersenyum-senyum. Sementara itu Prastawa menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan mata Ki Gede.

“Paman memanggil kami?” Soma-lah yang bertanya.

“Ya,” jawab Ki Gede pendek.

“Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Ya.” Ternyata Ki Gede tidak lagi memakai basa-basi. Ia langsung saja bertanya, “Kau kenal anak ini?”

Soma memandang Sukra yang wajahnya masih lebam. Sambil mengangguk-angguk Soma menjawab, “Ya. Jadi Ki Gede sudah menangkapnya?”

“Menangkap?” Ki Gede terkejut, tetapi terasa betapa liciknya pertanyaan itu.

“Bukankah Ki Gede telah menangkapnya? Semalam anak itu telah mengganggu kami bertiga. Maksudku, aku, Tumpak dan Adi Prastawa. Ketika kami mencoba memperingatkannya, ia justru menantang.”

“Ya,” Ki Gede mengangguk-angguk, “keteranganmu sesuai dengan keterangan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

Soma justru mengerutkan dahinya.

“Tetapi bukan aku yang menangkap anak itu. Ki Lurah dan Glagah Putih telah menyerahkan anak yang telah berbuat jahat itu. Keduanya ingin anak itu dihukum atas perbuatannya.”

Soma justru termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Gede berkata, “Aku mengundang kalian untuk bersaksi, agar aku dapat menjatuhkan hukuman yang pantas bagi anak ini.”

Soma berpaling kepada Prastawa. Tetapi Prastawa masih saja menundukkan kepalanya.

Pernyataan Ki Gede itu justru telah membingungkan Soma dan Tumpak. Apalagi Prastawa, yang masih saja menunduk. Terasa jantungnya bagaikan bergejolak.

“Prastawa,” terdengar suara Ki Gede dengan nada berat.

“Ya, Paman,” sahut Prastawa. Suaranya seakan-akan tertahan di mulutnya.

“Aku minta kau bersaksi, apa yang sudah terjadi di tepian semalam. Kau adalah saksi yang pantas aku dengar keteranganmu. Beberapa orang anak yang semalam ada di tepian tidak bersedia menjadi saksi. Mereka menjadi ketakutan.”

Soma dan Tumpak menjadi tegang. Mereka memandang Prastawa yang nampak menjadi sangat gelisah. Karena Prastawa tidak segera menjawab, maka Soma itu pun berkata, “Aku juga bersedia menjadi saksi, Paman.”

“Aku minta Prastawa bersaksi sekarang,” sahut Ki Gede.

“Berkatalah apa adanya, Di,” berkata Tumpak, “seorang saksi tidak boleh berbohong. Katakan apa adanya tentang Sukra. Kesombongan dirinya, tantangannya, dan sikapnya yang sangat meremehkan kita. Katakan bagaimana kita sudah mencoba mengalah. Tetapi sikap itu disalah artikan. Ia mengira bahwa kita menjadi ketakutan.”

Tanggapan Ki Gede sempat membuat Tumpak dan Soma menjadi berdebar-debar, sedangkan Prastawa menjadi sangat gelisah. Berkata Ki Gede, “Nah, kau dengar, Prastawa? Bagaimana Tumpak mengajarimu. Bukankah kau tidak mampu untuk menentukan kesaksian menurut pendapat sendiri? Bukankah kau tinggal menirukannya? Katakan, apapun yang ingin kau katakan.”

Prastawa justru menjadi semakin gelisah. Mulutnya terasa sulit untuk digerakkannya.

“Biarlah aku saja yang bersaksi, Paman,” berkata Soma.

“Aku minta Prastawa bersaksi. Kalau kau mau mengajarinya, ajarilah. Tetapi yang aku minta bersaksi adalah Prastawa. Mungkin kau dapat mengucapkan kata demi kata, selanjutnya Prastawa akan menirukannya.”

Wajah Soma menjadi tegang. Tetapi ia harus menahan diri.

“Prastawa?” Ki Gede menjadi semakin kehilangan kesabarannya. “Apa yang terjadi pada dirimu? Katakan, apa yang terjadi semalam di tepian?”

Prastawa tidak dapat ingkar lagi. Pamannya sudah mulai marah. Karena itu, maka iapun berkata, “Paman. Yang terjadi seperti yang tadi dikatakan oleh Kakang Tumpak.”

“Aku minta kau-lah yang mengatakan. Aku tidak berkeberatan jika Soma dan Tumpak mengajarimu, karena kau adalah anak ingusan yang baru belajar berbicara.”

Wajah Prastawa menjadi merah padam. Namun ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Telah terjadi salah paham, Paman. Sukra tidak menanggapi teguran kami atas kelakuannya yang tidak sepantasnya.”

“Apa yang dilakukannya sehingga kau sebut tidak sepantasnya itu?” berkata Ki Gede.

“Anak itu mengawasi kami seperti sedang mengawasi sekelompok pencuri, Paman,” Soma-lah yang menyahut. Tetapi Ki Gede seakan-akan tidak mendengarkannya. Ia mengulangi pertanyaannya, “Prastawa. Apa yang telah dilakukan oleh Sukra, sehingga kau dapat mengatakan bahwa yang dilakukan itu tidak sepantasnya?”

“Paman,” Soma menyela.

“Aku tidak akan mendengarkan kata-katamu, Soma. Aku bertanya kepada Prastawa. Karena itu, hanya kata-kata Prastawa yang aku dengar.”

“Sukra seolah-olah mencurigai kami, Paman,” berkata Prastawa dengan suara bergetar, “seolah-olah kami adalah sekelompok penjahat.”

“Lalu, apa yang terjadi?”

Soma beringsut setapak. Tetapi Ki Gede sama sekali tidak berpaling kepadanya.

“Sukra mengawasi kami sambil sembunyi-sembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu. Ketika kami menegurnya, terjadi salah paham. Sukra telah menantang kami, Paman.”

“Lalu?”

“Kakang Soma berkelahi melawan Sukra.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian, ternyata Sukra telah bersalah. Ia telah berani menantang Soma sehingga keduanya berkelahi. Nah, Prastawa. Kau adalah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini. Kau adalah panutan anak-anak muda. Karena itu, kau pantas mendapat limpahan sebagian dari kuasaku.”

Prastawa terkejut. Namun terasa jantungnya menegang.

“Aku berikan wewenang kepadamu untuk menghukum Sukra. Karena Sukra bersalah, maka ia harus dihukum. Sekarang, hukumlah anak itu.”

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Prastawa. Dengan gagap ia bertanya, “Hukuman apa yang harus aku berikan kepadanya, Paman?”

“Kau yang melihat dengan mata kepala sendiri kesalahan yang telah dilakukan oleh Sukra. Kau aku beri wewenang untuk menghukumnya sesuai dengan rasa keadilanmu. Sesuai dengan kata hati nuranimu. Nah. lakukan Biarlah Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi saksi, bahwa kau telah menghukum orang yang bersalah dengan adil. Ki Lurah dan Glagah Putih pun tidak akan melindunginya.”

Wajah Prastawa menjadi pucat. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih tanggap akan maksud Ki Gede. Sukra sendiri merasa ragu. Tetapi justru karena ada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, Sukra seakan-akan sudah pasrah, apapun yang akan terjadi atas dirinya.

“Prastawa,” berkata Ki Gede, “kenapa kau diam saja? Lakukan atas namaku.”

“Tidak, Paman,” jawab Prastawa dengan suara yang patah-patah, “Paman-lah yang berhak memutuskan. Seandainya aku harus melaksanakan, tetapi biarlah Paman yang menentukan.”

“Aku tidak melihat apa yang terjadi, Prastawa. Sementara itu, tidak ada saksi lain yang dapat meyakinkan aku. Karena itu, aku berikan wewenang kepadamu, hukumlah anak itu sesuai dengan rasa keadilanmu Bukankah perintahku sudah jelas? Apapun yang kau lakukan, tidak akan dianggap salah, karena yang kau lakukan itu adalah atas namaku.”

“Tidak, Paman,” bukan saja suara Prastawa yang bergetar, tetapi tubuhnya pun telah bergetar pula. Gejolak yang dahsyat telah terjadi di dalam rongga dadanya, la tidak mengira, bahwa ia akan dihadapkan pada satu pilihan sikap yang sangat rumit, yang bahkan telah membakar pertentangan di dalam dirinya.

Dalam pada itu, Soma pun berkata, “Limpahkan wewenang itu kepadaku, Adi Prastawa. Jika kau tidak sampai hati melaksanakan hukuman terhadap anak yang tidak tahu diri dan tidak mengenal unggah-ungguh itu, biarlah aku yang melakukannya.”

“Apa hakmu untuk melakukannya? Aku melimpahkan wewenangku kepada Prastawa. Ia tidak dapat melimpahkannya kepada siapapun juga.”

“Jika demikian, kenapa Paman tidak melimpahkan saja kepadaku? Bukankah aku terhitung kadang Paman sendiri?”

“Aku dapat memberikan wewenang kepada siapapun yang aku kehendaki. Kepada Prastawa, atau kepada Ki Lurah Agung Sedayu, atau kepada Glagah Putih, atau kepada siapapun saja yang aku kehendaki.”

“Kenapa tidak kepadaku?”

“Karena aku tidak mempercayai bahwa rasa keadilanmu tegak. Aku tidak mempercayai bahwa hatimu bersih menanggapi peristiwa ini.”

“Paman,” wajah Soma menjadi merah, sementara itu Tumpak beringsut setapak maju.

“Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku Kepala Tanah Perdikan di sini.”

Darah Soma rasa-rasanya bagaikan mendidih. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa pamannya akan mempermalukannya di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan bibir Tumpak rasa-rasanya menjadi gemetar.

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sadar, bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar sedang marah. Sementara itu, hati Prastawa ternyata lentur. Ia tidak berani menghadapi tantangan pamannya itu. Jika Prastawa melakukan apa yang dikatakan pamannya, maka ia tidak akan dapat dianggap bersalah. Bahkan seandainya Prastawa membunuh Sukra sekalipun. Tanggung jawabnya akan dipikul oleh Ki Gede.

Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, maka Ki Gede pun berkata sekali lagi kepada Prastawa, “Prastawa. Jika kau akan melakukannya atas dasar wewenang yang aku berikan, lakukan sekarang, atau tidak sama sekali.”

Prastawa itu pun menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Maaf, Paman. Aku tidak dapat melakukannya.”

“Lalu apa sebaiknya yang kita lakukan atas anak itu?”

“Biarlah anak itu pulang.”

“Inilah keputusan itu. Kau yang telah menjatuhkan keputusan, biarlah anak itu pergi. Dengan demikian, maka kau menganggap bahwa anak itu tidak bersalah, sehingga anak itu tidak harus dihukum.”

“Tidak begitu, Paman,” Tumpak hampir berteriak, “keputusan itu didasarkan pada rasa belas kasihan. Bukan satu pengakuan bahwa anak itu tidak bersalah.”

“Aku tidak mengerti seperti itu. Jika Prastawa tidak menghukumnya berdasarkan rasa keadilan, bukan belas kasihan, itu berarti bahwa Sukra tidak bersalah. Nah, pulanglah, Sukra, Prastawa menyatakan bahwa kau tidak bersalah.”

“Tidak. Aku tidak dapat menerima kesimpulan yang Paman ambil. Paman sudah memutarbalikkan pengertian dari sikap Adi Prastawa.”

“Prastawa. Bukankah kau tidak dapat menghukum anak ini?”

“Ya, Paman.”

“Nah, kau dengar, Soma dan Tumpak? Karena itu aku perintahkan untuk membawa anak itu pulang.”

“Paman, aku mempunyai pengertian yang berbeda.”

“Aku tidak peduli seandainya orang sepasar itu mempunyai pengertian seribu macam yang berbeda-beda.”

“Tetapi aku bukan orang lain di sini.”

“Dalam perkara ini, kau tidak ada bedanya dengan orang-orang di pasar itu.”

“Aku menjadi saksi dari peristiwa itu.”

“Tetapi Prastawa sudah menjatuhkan keputusan atas namaku. Nah, sekarang bawa anak itu pulang.”

“Tetapi perkara ini aku anggap belum selesai.”

“Memang belum selesai. Masih ada pertanyaan yang harus dijawab. Siapakah yang ternyata bersalah.”

Jantung Soma dan Tumpak terasa berdegup semakin keras. Namun dalam pada itu. wajah Prastawa pun menjadi pucat. Rasa-rasanya apapun yang dilakukan serba salah.

Dalam pada itu, terdengar Ki Lurah Agung Sedayu bertanya, “Jadi, kami dapat membawa Sukra pulang, Ki Gede?”

“Ya,” jawab Ki Gede, “anak itu dapat Ki Lurah bawa pulang. Ternyata ia tidak bersalah. Selanjutnya kita harus menjawab pertanyaan, siapakah yang bersalah?”

“Terima kasih, Ki Gede,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian. Lalu katanya, “Sukra, kau pun wajib mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede dan kepada kakangmu Prastawa, yang telah menyatakan bahwa kau tidak bersalah.”

“Ki Gede,” berkata Sukra kemudian, “aku mengucapkan terima kasih. Kakang Prastawa, aku juga berterima kasih kepada Kakang.”

Prastawa tidak menjawab. Tetapi Ki Gede telah menjawab, “Hati-hatilah Sukra. Jangan terjebak dalam perbuatan yang dapat membuat wajahmu menjadi lebam.”

“Ya, Ki Gede,” jawab Sukra.

Namun Soma dan Tumpak masih saja menggeretakkan giginya. Dengan geram Soma berkata, “Telah berlaku ketidakadilan di sini. Di rumah Ki Gede Menoreh, penguasa Tanah Perdikan.”

“Soma dan Tumpak,” berkata Ki Gede, “kau tamu di Tanah perdikan ini. Kami penghuni Tanah Perdikan ini terbiasa menghormati tamu-tamunya, siapapun mereka. Tentu saja kalau tamu-tamu itu juga menghormati kami. penghuni Tanah Perdikan ini. Jika seorang tamu tidak menghormati kami, penghuni Tanah Perdikan ini, maka kami pun tidak akan menghormati mereka.”

“Terima kasih atas sikap Paman dan rakyat Tanah Perdikan ini. Kami dan Ayah akan merasa menerima penghormatan yang tinggi dari keluarga kami yang sudah lama tidak berhubungan sama sekali. Kami datang untuk menyambung hubungan yang hampir terputus sama sekali. Dan ternyata kami mendapat sambutan yang hangat di Tanah perdikan ini,” sahut Soma.

“Nah, katakan kepada ayahmu apa yang telah terjadi. Katakan bahwa telah terjadi ketidakadilan di sini, di Tanah Perdikan ini. Apa kata bapakmu nanti.”

“Baik, Paman. Sekarang jika sudah tidak ada kepentingan lagi, biarlah kami minta diri. Kami akan kembali ke rumah Paman Argajaya, yang agaknya dapat mengerti tentang niat kami yang baik, sehingga kami tempuh jarak yang panjang sampai ke Tanah Perdikan ini.”

“Silahkan,” jawab Ki Gede

Sementara itu Prastawa pun berkata, “Aku juga mohon diri, Paman.”

“Baik, Prastawa. Hati-hatilah dengan sikapmu.”

“Baik, Paman.”

“Kau adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini. Kau adalah pemimpin dari anak-anak muda, yang pada saatnya akan mewarisi tugas-tugas yang berat di atas Tanah Perdikan ini.”

“Ya, Paman.”

Demikianlah, ketiga orang itu pun kemudian turun dari pendapa. Mereka berjalan dengan cepat menuju ke regol halaman rumah Ki Gede Menoreh.

Demikian mereka turun ke jalan, Soma pun berkata, “Kau sia-siakan kesempatan itu, Adi.”

“Apa yang harus aku lakukan?”

“Kau hukum anak itu.”

“Kenapa aku harus menghukumnya? Apa pula keuntungan kita jika kita menghukum anak itu?”

“Bukan kita. Tetapi Adi Prastawa. Dengan demikian maka kedudukan Adi Prastawa akan menjadi semakin mapan. Lebih dari itu, kita dapat memancing kemarahan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Jika mereka melibatkan diri, maka kita mempunyai alasan untuk menghancurkan mereka.”

“Sekali lagi aku ingatkan, mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Ki Lurah Agung Sedayu adalah pemimpin sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu. Jika kirt berani melawan Ki Lurah, berarti kita akan melawan para prajurit itu.”

“Aku kira jumlah anak-anak muda Tanah Perdikan ini sepuluh kali lipat dari jumlah prajurit yang ada di barak itu. Sedangkan sebagaimana Adi katakan, bahwa kemampuan anak muda Tanah Perdikan ini tidak ubahnya kemampuan para prajurit dan Pasukan Khusus itu.”

“Jika kita berani melawan para prajurit, itu berarti kita akan melawan Mataram.”

“Kita tidak bersalah. Kita tegakkan keadilan di Tanah ini.”

“Siapa yang tidak bersalah? Telusuri sumber dari persoalan ini. Bukankah Sukra sebenarnya memang tidak bersalah? Jika sekarang aku menghukumnya untuk memancing kemarahan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, bukankah kita juga yang bersalah dalam hal ini? Jika kemudian terjadi perang dengan Mataram, siapakah yang dapat menyebut kita menegakkan keadilan di Tanah ini?”

“Adi memang sangat perasa,” sahut Tumpak, “jangan memandang persoalan yang Adi hadapi sepotong-sepotong. Dalam keseluruhannya yang bulat, Adi Prastawa memang menuntut keadilan. Kekuasaan atas Tanah Perdikan ini. Bukankah segala perbuatan kita itu mengarah kepada tegaknya keadilan di Tanah Perdikan ini? Adi Prastawa-lah yang seharusnya memegang kekuasaan itu.”

Prastawa menggeram, “Jangan singgung lagi kekuasaan atas Tanah Perdikan itu.”

“Adi,” Soma seakan-akan tidak mendengar kata-kata Prastawa, “ada dua jalan yang dapat Adi tempuh. Menikah dengan Pandan Wangi, atau menyingkirkannya sama sekali. Untuk menikah dengan Pandan Wangi agaknya sudah tidak mungkin lagi. Tetapi menyingkirkan Pandan Wangi, masih mungkin sekali.”

“Kalian menjadi semakin gila!” bentak Prastawa.

Soma terdiam. Tumpak pun tidak berkata apa-apa lagi.

Demikianlah, mereka berjalan semakin cepat. Prastawa berjalan di paling depan. Rasa-rasanya ia ingin menghindari pembicaraan dengan kedua orang yang mengaku masih mempunyai pertautan darah itu.

Demikian mereka sampai di rumah, maka Ki Argajaya pun segera bertanya kepada Prastawa, “Apakah kepentingan pamanmu memanggil kalian bertiga?”

“Tidak apa-apa, Ayah.”

“Pamanmu jarang sekali memanggilmu menghadap. Tetapi tiba-tiba saja kau harus datang menghadapnya pagi ini.”

“Hanya sedikit salah paham tentang anak muda yang tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Salah paham bagaimana?”

“Anak itu semalam telah berselisih dengan Kakang Soma. Pagi-pagi Ki Lurah Agung Sedayu membawa anak itu menghadap Ki Gede. Yang dikatakan oleh anak itu tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi malam tadi. Aku dipanggil Paman untuk bersaksi.”

Ki Argajaya pun kemudian berpaling kepada Soma dan Tumpak. Dengan nada berat iapun bertanya, “Apakah benar begitu?”

“Adi Prastawa adalah seorang yang hatinya sangat lembut.”

“Maksudmu?”

Soma menarik nafas panjang. Katanya, “Adi Prastawa lebih senang menyalahkan diri sendiri daripada menyalahkan orang lain, meskipun yang terjadi sebenarnya justru orang lain itulah yang bersalah.”

Ki Argajaya menarik nafas panjang. Sementara Tumpak pun berkata, “Tetapi akibat sikap Adi Prastawa itu justru menusuk perasaannya sendiri. Adi Prastawa-lah yang justru dianggap bersalah dan mendapat marah dari Paman Argapati.”

Tetapi sikap Ki Argajaya tidak seperti yang diharapkan. Ia tidak menjadi kecewa terhadap sikap kakaknya itu. Bahkan seakan-akan Ki Argajaya tidak menghiraukannya.

Ki Kapat Argajalu-lah yang menyahut, “Ada perbedaan latar belakang kehidupan kita dengan kehidupan pamanmu Argajaya.”

“Maksud Ayah?”

“Selama ini kita hidup di sebuah padepokan. Hitam putihnya harus kita tanggung sendiri. Kita bertanggung jawab penuh terhadap sikap dan perbuatan kita. Tetapi di sini tidak. Di sini yang berkuasa Kepala Tanah Perdikan. Pamanmu Argajaya adalah seseorang yang berada di bawah kekuasaan Kepala Tanah Perdikan itu, sehingga sikap dan perbuatannya akan tetap berkait dengan kekuasaan yang membayanginya.”

“Kau benar, Kakang,” berkata Ki Argajaya, “kehidupanku tentu sangat berbeda dengan kehidupan Kakang di padepokan yang seakan-akan mandiri. Tetapi apakah juga berlaku sikap seperti itu pada setiap orang di padepokan Kakang Kapat Argajalu? Apakah setiap orang dapat menentukan kehendak mereka masing-masing, tanpa menghiraukan kuasa dan wewenang Kakang di padepokan itu?”

“Aku hanya mengatur, Adi. Mereka bebas untuk menentukan sikapnya masing-masing.”

“Bagaimana jika aku katakan, bahwa Kakang Argapati juga hanya mengatur sesuai dengan tatanan dan paugeran yang ada, agar tidak terjadi benturan-benturan kepentingan dari rakyat Tanah Perdikan ini?”

“Apakah Adi Argajaya juga bebas menentukan sikap, meskipun dalam bingkai tatanan dan paugeran?”

“Ya.”

“Kenapa Adi Argajaya tidak dapat berbuat apa-apa, meskipun Angger Prastawa diperlakukan tidak adil?”

“Dari sisi manakah Kakang memandang keadilan yang Kakang sebutkan itu? Dari sisi pandang kakang Kapat Argajalu? Bahkan mungkin sisi pandang Kakang berkait pula dengan kepentingan Kakang Kapat Argajalu sendiri.”

Ki Kapat Argajalu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak dapat menyalahkan Adi Argajaya. Bukankah Adi Argajaya saudara muda Ki Gede Menoreh?”

“Ya. Aku adalah saudara muda Ki Gede Menoreh.”

“Baiklah, Adi. Segala sesuatunya terserah kepada Adi Argajaya sendiri.”

“Ayah,” berkata Prastawa kemudian, “aku minta diri. Aku akan pulang sebentar, Ayah.”

“Pulanglah. Mungkin kau memang perlu beristirahat.”

Ketika Prastawa kemudian meninggalkan ayahnya, Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya pun telah beringsut pula. Ki Kapat itu pun berkata, “Perkenankan kami bertiga beristirahat di gandok, Adi.”

“Silahkan, Kakang.”

Sepeninggal Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya, Ki Argajaya masih duduk merenungi sikap ketiga orang tamunya itu.

Bagaimanapun juga, sebagai seorang Ayah, Ki Argajaya tersentuh juga perasaannya karena sikap anaknya yang berubah. Kecurigaannya terhadap tamu-tamunya menjadi semakin besar. Apalagi mengingat keadaan yang sudah menjadi keruh, namun tamu-tamunya itu masih juga belum ada tanda-tandanya untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kedua orang anak laki-laki Ki Kapat itu menjadi lebih senang keluar bersama Prastawa. Semisal pisau yang setiap hari diasah, maka semakin lama akan menjadi semakin tajam Demikian pula sikap Prastawa. Betapa licin dan liciknya Soma dan Tumpak membujuknya, untuk memandang masa depan Menoreh dari sisi pandang mereka.

Bahkan di benak Prastawa pernah singgah bisikan iblis lantaran mulut Soma, “Singkirkan saja Pandan Wangi.”

“Mbokayu Pandang Wangi sudah mempunyai seorang anak laki-laki.”

“Singkirkan pula anak itu.”

Suara iblis itu sempat bergaung di dalam dada Prastawa. Meskipun Prastawa masih tetap ragu, namun yang sudah mulai dilakukannya adalah berbicara dengan beberapa orang pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan yang terletak agak jauh dari padukuhan induk. Bersama Soma dan Tumpak yang memiliki kemampuan berbicara, mereka mulai menanamkan satu keinginan bahwa Prastawa-lah yang kelak akan menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh.

“Ya. Pandan Wangi tidak pernah berada di Tanah Perdikan ini lagi. Ia sudah bukan penghuni Tanah Perdikan ini. Tetapi ia adalah istri dari orang yang kelak bakal menjadi Demang di Sangkal Putung. Dengan demikian, maka suami Pandan Wangi itu tidak akan pernah dapat memegang jabatan yang akan ditinggalkan oleh Ki Gede Menoreh,” berkata seorang anak muda yang berpengaruh di padukuhannya.

“Karena itu, maka kita semuanya harus mendukung agar Adi Prastawa dapat menduduki jabatan yang pada suatu saat pasti akan ditinggalkan oleh Ki Gede.”

“Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya?”

“Mereka juga bukan orang Tanah Perdikan ini. Mereka adalah pendatang yang tidak mempunyai hak apa-apa di sini.”

“Tetapi mereka berilmu tinggi. Mereka mempunyai pendukung Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini.”

“Jangan takut kepada ilmu mereka,” sahut Tumpak.

Dalam pada itu, dalam setiap kesempatan Soma dan Tumpak sengaja memamerkan kelebihan mereka. Ilmu mereka yang tinggi, serta membisikkan harapan-harapan bagi masa datang.

Dalam kecemasan yang semakin mencengkam, maka tanpa setahu Prastawa, Ki Argajaya telah pergi menemui kakaknya, Ki Argapati.

“Kakang,” bertanya Ki Argajaya tiba-tiba, “apakah anak seorang pencuri itu juga harus menjadi pencuri?”

“Apa maksudmu, Argajaya?”

“Kakang. Aku mencemaskan Prastawa. Selain itu aku juga mencurigai Kakang Kapat Argajalu serta kedua orang anaknya.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan menyalahkan diri sendiri, Argajaya.”

“Kakang. Aku pernah menjadi seorang pengkhianat. Seorang yang paling jahat, dan barangkali sepantasnyalah bahwa aku dihukum mati pada waktu itu. Tetapi Kakang sudah memaafkan aku. Aku masih Kakang perkenankan hidup sampai sekarang di bumi Tanah Perdikan ini.”

“Tanah ini adalah tanah leluhurmu, Argajaya. Tanah kita bersama.”

“Kakang. Apakah Prastawa juga harus menjadi seorang pengkhianat? Sungguh, aku tidak pernah mengajarinya melakukan perbuatan yang terkutuk itu, Kakang. Mungkin Prastawa masih sempat mengingat dan membayangkan apa yang pernah aku lakukan. Tetapi seharusnya Prastawa juga mengingat, bagaimana aku sudah bertaubat. Bagaimana aku telah menyesali semua perbuatanku pada waktu itu.”

“Kau belum terlambat, Argajaya. Panggil anakmu. Ajak ia bicara sampai tuntas. Ceritakan apa yang pernah kau lakukan. Meskipun Prastawa tentu sempat mengingatnya pula, tetapi kau tentu dapat menekankan sisi-sisi yang dapat memberinya kesadaran atas perbuatannya.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah beberapa kali berbicara dengan Prastawa.”

“Masih ada waktu untuk berbicara lagi dengan anak itu.”

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kakang. Mungkin aku memerlukan bantuanmu. Mungkin kita bersama-sama dapat memanggil anak itu dan berbicara tentang sikapnya itu.”

“Aku tidak berkeberatan, Argajaya. Kapan kita akan berbicara dengan Prastawa?”

“Bagaimana kalau nanti malam, Kakang? Aku akan memberitahukan kepada Prastawa, bahwa nanti malam Kakang memanggilnya.”

“Baik. Nanti malam, beberapa saat setelah lewat senja, aku tunggu kau dan anakmu kemari.”

Demikianlah, Ki Argajaya kemudian telah minta diri. Namun sebelum ia beranjak dari tempatnya, dua orang anak muda telah datang dan langsung naik ke pendapa untuk menghadap Ki Gede.

“Ada apa?” bertanya Ki Gede.

“Kebetulan Ki Argajaya ada di sini.”

“Apa yang terjadi?”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Sebelumnya aku mohon maaf kepada Ki Argapati dan Ki Argajaya.”

“Katakan,” suara Ki Gede terasa berat menekan.

“Ki Gede. Ada sesuatu yang perlu kami laporkan.”

Ki Gede tidak menjawab. Ia ingin segera mendengar laporan anak-anak muda itu.

“Anak-anak muda dari Padukuhan Sembojan bersikap aneh.”

“Bersikap aneh? Apa yang mereka lakukan?”

“Mereka telah mengadakan tatanan sendiri di antara mereka. Mereka telah menyelenggarakan latihan-latihan olah kanuragan sendiri. Hubungan dengan anak-anak muda di padukuhan induk ini serasa telah terputus.”

“Apakah Prastawa sudah mengetahuinya?”

Anak muda itu memandang Ki Argajaya dengan wajah yang gelisah. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi seakan-akan tertahan di kerongkongannya.

“Katakan. Aku ingin mendengar kau berkata sejujurnya. Apapun yang ingin kau katakan. Jika kau berkata jujur, maka kita akan dapat mencari pemecahannya dengan benar. Tetapi jika kau tidak berkata dengan benar, maka langkah yang kita ambil pun tentu salah pula,” berkata Ki Argajaya. Namun rasa-rasanya ia sudah menduga, bahwa yang akan dilaporkan itu tentu menyangkut sikap Prastawa, yang berada di bawah pengaruh Soma dan Tumpak.

“Maaf, Ki Argajaya,” berkata anak muda itu, “Prastawa dan dua orang saudaranya yang bernama Soma dan Tumpak itu sering sekali berada Sembojan.”

“Aku sudah mengira,” desis Ki Argajaya. Dengan nada tinggi Ki Argajaya itu pun berkata, “Apakah ada kegiatan serupa di padukuhan lain?”

“Setelah kami sempat melihat keanehan yang terjadi di Sembojan, maka kami pun telah mengamati padukuhan yang lain. Ternyata sudah ada tiga padukuhan yang telah dibayangi oleh suasana seperti Padukuhan Sembojan.”

“Padukuhan mana saja?” bertanya Ki Argajaya.

“Padukuhan di sekitar Bukit Laras, Padukuhan Pasiraman dan padukuhan di sekitar Tlaga Simping.”

“Padukuhan itu terhitung padukuhan-padukuhan besar. Semuanya terletak di Kademangan Pudak Lawang.”

“Ya, Ki Gede.”

“Demang Pudak Lawang yang baru, yang ditetapkan belum setengah tahun yang lalu, masih terhitung muda. Umurnya sebaya dengan Prastawa. Bahkan Demang Pudak Lawang itu adalah sahabat Prastawa sejak semula.”

Ki Argajaya menarik nafas panjang. Katanya, “Agaknya Kakang Kapat telah membawa malapetaka di Tanah Perdikan ini.”

“Kita dapat menduga, Argajaya. Tetapi kita jangan menetapkan dahulu Kakang Kapat bersalah. Karena itu, ajak Prastawa malam nanti kemari. Kita akan dapat berbincang panjang dengan anak itu.”

“Ya, Kakang.”

“Nah,” berkata Ki Gede kepada kedua orang anak muda itu, “terima kasih atas keteranganmu. Aku sangat memperhatikannya. Aku dan Ki Argajaya akan mencari jalan pemecahan yang sebaik-baiknya.”

“Kami mohon diri, Ki Gede.”

“Baiklah. Untuk selanjutnya, aku menunggu keteranganmu lebih lanjut.”

“Tetapi jangan katakan kepada Prastawa bahwa kami telah datang menghadap Ki Gede dan Ki Argajaya. Jika hal ini kami lakukan, semata-mata karena kecemasan kami, bahwa akan terjadi hal-hal yang kurang baik di atas Tanah Perdikan ini.”

“Aku mengerti, anak muda. Aku dan Ki Gede Menoreh tidak akan mengatakan kepada Prastawa, bahwa kalian telah datang untuk memberikan laporan tentang perkembangan terakhir Tanah Perdikan ini.”

Demikianlah, sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu telah pergi. Namun ternyata mereka masih juga singgah di rumah Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, untuk memberitahukan perkembangan terakhir di Kademangan Pudak Lawang.

Dalam pada itu, Ki Argajaya masih belum jadi meninggalkan rumah Ki Gede. Dengan nada yang berat menekan, Ki Argajaya berkata, “Kakang. Jika aku pernah berkhianat, aku tidak bermimpi untuk mengajari anakku berkhianat. Aku telah bertaubat, dan berusaha mencari jalan yang lurus. Tetapi sifat khianat itu ternyata telah menurun kepada anakku dengan lantaran orang lain.”

“Adi Argajaya. Sudah aku katakan, jangan menyalahkan diri sendiri. Masih ada waktu untuk berbicara dengan anakmu, Prastawa, malam nanti.”

“Ya, Kakang.”

“Sekarang pulanglah. Beristirahatlah lahir dan batinmu. Jangan kau biarkan perasaanmu menyakiti hatimu sendiri.”

“Tetapi Prastawa membuat jantungku akan terlepas.”

“Seandainya Prastawa bersalah, kau tidak dapat ikut dianggap bersalah. Jika kau ajari anak itu memberontak, maka kau dapat ikut ditangkap dan dihukum. Tetapi bukan kau yang mengajarinya. Aku tidak percaya bahwa anak seorang pencuri pasti menjadi pencuri. Atau bahwa seorang pencuri tentu anak pencuri.”

Ki Argajaya menarik nafas panjang. Namun sejenak kemudian, Ki Argajaya itu pun segera minta. diri. Ia harus bertemu dengan anaknya dan mengajaknya menghadap Ki Gede Menoreh malam nanti.

Dalam pada itu, kedua orang anak muda yang telah melaporkan Padukuhan Sembojan, padukuhan di sekitar Bukit Laras, Padukuhan Pasiraman dan padukuhan di sekitar Tlaga Simping yang kesemuanya terletak di Kademangan Pudak Lawang, telah berada di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.

Seperti yang telah dilaporkannya kepada Ki Gede, maka keduanya pun telah melaporkannya pula kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Meskipun keduanya bukan keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh, namun keduanya telah berbuat banyak sekali bagi Tanah Perdikan itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah terjun langsung membina anak-anak muda Tanah Perdikan itu. Mereka pula-lah yang membuat Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh menjadi sekuat sekarang ini. Bukan saja anak-anak mudanya, tetapi orang-orang yang lebih tua, pada masa muda mereka juga telah ditempa dalam Pasukan Pengawal Tanah Perdikan.

“Nampaknya mereka sedang menyusun kekuatan yang terpisah, Ki Lurah,” berkata anak muda itu.

“Terpisah dari kekuatan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini maksudmu?” bertanya Ki Lurah.

“Ya. Prastawa dengan kedua orang saudaranya yang bernama Soma dan Tumpak itu telah menyelenggarakan latihan-latihan tersendiri bagi keempat padukuhan yang terhitung besar itu. Bahkan aku yakin bahwa tidak lama lagi, seluruh Kademangan Pudak Lawang akan terhisap ke dalam lingkungan mereka.”

“Kademangan Pudak Lawang termasuk kademangan yang kuat di Tanah Perdikan ini.”

“Ya. Sementara itu Demang Pudak Lawang yang baru adalah sahabat Prastawa.”

“Apa kata Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya ketika kau menghadap mereka?”

“Mereka minta aku mengamati kademangan itu. Setiap terjadi perkembangan baru, kami harus memberikan laporan.”

“Berhati-hatilah. Kau tidak dapat melakukannya sebagai prajurit dalam tugas sandi, karena pada umumnya anak-anak muda Tanah Perdikan ini sudah saling mengenal. Anak-anak muda dari Pudak Lawang tahu, bahwa kalian berdua adalah anak muda dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya, Ki Lurah. Tetapi untunglah pamanku tinggal di Pasiraman. Anak-anak Pasiraman tahu bahwa hampir sepekan sekali aku datang ke rumah Paman. Pamanku memang sakit-sakitan. Jika aku pergi ke Pasiraman, bukan hanya sejak saat-saat terakhir. Aku sudah selalu pergi ke padukuhan itu sejak berbulan-bulan yang lalu. Karena itu, mereka tidak akan mencurigai aku jika aku kelihatan berada di Pasiraman.”

“Meskipun demikian, kau harus berhati-hati. Jika benar anak-anak muda Pasiraman, bahkan anak muda Kademangan Pudak Lawang, berniat menempuh jalan sesat, maka kehadiranmu di Pasiraman akan tetap menjadi perhatian anak-anak muda padukuhan itu. Mungkin saja setelah kau berada di Pasiraman, kau tidak dapat keluar dari padukuhan itu.”

“Ya, Ki Lurah.”

Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Jika keadaan memaksa, maka padukuhan-padukuhan yang lain harus mengimbangi sikap anak-anak muda dari Kademangan Pudak Lawang.”

“Jangan tergesa-gesa, Glagah Putih,” cegah Ki Lurah Agung Sedayu, “sebelum kita mendapatkan keyakinan bahwa akan ada penyimpangan, sebaiknya kita belum mengadakan gerakan-gerakan yang akan dapat memperuncing suasana.”

“Tetapi kita tidak boleh terlambat, Kakang.”

“Aku mengerti. Tetapi langkah yang kita ambil harus berhati-hati. Jika kita justru terperosok ke dalam padukuhan yang mempunyai sikap yang sama dengan padukuhan-padukuhan di Kademangan Pudak Lawang, maka keadaan akan menjadi bertambah buruk.”

“Aku mengerti, Kakang. Tetapi setelah kita mengetahui keadaan di Pudak Lawang, kita masih akan tetap berdiam diri?”

“Kita akan berbicara dengan Ki Gede.”

Keduanya memang tidak ingin terlambat. Karena itu, maka keduanya pun segera bersiap-siap untuk dengan segera menghadap Ki Gede Menoreh.

“Jangan mengatakan kepada Prastawa, bahwa kami berdua-lah yang memberikan laporan tentang perkembangan keadaan di Pudak Lawang.”

“Baik,” sahut Glagah Putih, “seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, kita akan berhati-hati.”

Demikian kedua orang anak muda itu meninggalkan rumah Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah dan Glagah Putih pun segera minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pergi ke rumah Ki Gede.

“Dimana Ki Jayaraga?”

“Ia berada di sanggar, Kakang.”

“Di sanggar?”

“Sudah sejak pulang dari sawah, sebelum mandi dan membersihkan diri, Ki Jayaraga langsung masuk ke dalam sanggar.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun Ki Jayaraga itu tidak terbiasa berbuat seperti itu, meskipun Ki Jayaraga masih juga selalu menjaga tingkat kemampuannya.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut. Bersama Glagah Putih, Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih memasuki regol halaman rumah Ki Gede, mereka melihat Ki Gede itu duduk sendiri, merenung di atas amben bambu di serambi gandok. Demikian Ki Gede melihat kedua orang itu memasuki halaman rumahnya, maka iapun segera bangkit berdiri. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih justru melangkah langsung menuju ke serambi gandok.

“Marilah, Ki Lurah. Naiklah ke pendapa.”

“Di sini saja Ki Gede. Nampaknya udara lebih segar.”

Ki Gede pun kemudian mempersilahkan keduanya naik ke serambi gandok.

Setelah keduanya duduk, maka Ki Gede pun bertanya, “Dari mana, Ki Lurah?”

“Dari rumah, Ki Gede. Kami sengaja datang untuk menghadap Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, “Ada sesuatu yang penting, atau Ki Lurah dan Glagah Putih sekedar singgah?”

“Ada sedikit kepentingan, Ki Gede,” jawab Ki Lurah, yang kemudian menceritakan kedatangan kedua orang anak muda di rumahnya, yang menurut keterangan mereka, keduanya sudah datang menghadap Ki Gede.

“Ya. Keduanya sudah datang kepadaku untuk memberikan laporan tentang Kademangan Pudak Lawang.”

“Ya. Karena itulah, maka aku segera menghubungi Ki Gede sekarang ini.”

“Terima kasih atas perhatian Ki Lurah dan kau, Glagah Putih,” berkata Ki Gede selanjutnya. “Aku menjadi sangat prihatin mendengar laporan itu. Aku teringat apa yang pernah terjadi di atas Tanah Perdikan ini pada saat Argajaya kehilangan kendali nalar budinya.”

“Apakah Ki Gede sudah berbicara dengan Ki Argajaya?”

“Argajaya datang kepadaku dengan penyesalan yang sangat mendalam atas tingkah laku anak laki-lakinya. Bahkan Argajaya telah menyalahkan dirinya sendiri, seolah-olah bahwa apa yang dilakukan oleh anaknya adalah tetesan dosa yang telah dilakukannya. Argajaya itu bertanya kepadaku, apakah anak seorang pencuri harus menjadi pencuri, meskipun ayahnya sama sekali tidak mengajarinya mencuri. Kodrat akan menentukan, lewat siapapun juga, bahwa anak itu akan terjerumus ke dalam kejahatan pula, sebagaimana pernah dilakukan oleh ayahnya.”

“Tetapi bukankah tidak begitu, Ki Gede?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Tentu tidak begitu. Aku juga sudah mengatakan kepada Argajaya bahwa ia tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri.”

“Ya, Ki Gede. Aku berpendapat bahwa Ki Argajaya tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri.”

“Ki Lurah,” berkata Ki Gede kemudian, “nanti malam aku minta Adi Argajaya mengajak Prastawa datang kemari. Aku ingin berbicara langsung dengan anak itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya.”

“Apakah kami juga boleh mendengarkan pembicaraan itu Ki Gede?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu tidak, Glagah Putih,” Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang menyahut, “pembicaraan itu tidak akan terbuka, jika ada orang lain yang ikut hadir di dalam pertemuan itu. Besok saja kita datang lagi menghadap Ki Gede. Kita akan tahu, apa yang sudah dibicarakan malam nanti antara Ki Gede dengan Prastawa dan Ki Argajaya.”

“Benar, Glagah Putih. Aku minta maaf bahwa sebaiknya biarlah kami saja yang berbicara, agar hati kami lebih terbuka.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia sadari, bahwa pertanyaannya adalah pertanyaan yang bodoh sekali.

Demikianlah, setelah berbincang beberapa lama, maka keduanya pun segera minta diri. Ki Gede tidak berkeberatan jika besok mereka datang lagi, untuk mengetahui apa saja yang telah dibicarakan antara Ki Gede dengan Prastawa dan Ki Argajaya.

“Bahkan aku sangat mengharapkan Ki Lurah dan Glagah Putih besok datang kemari. Mungkin ada sesuatu yang harus dilakukan segera.”

“Baik, Ki Gede,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

Demikianlah, maka mereka berdua pun telah minta diri pulang ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Namun keduanya sengaja menempuh jalan utama padukuhan induk, meskipun sedikit melingkar. Keduanya sengaja berjalan lewat di depan banjar padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Di muka banjar, beberapa orang anak muda sedang berkumpul. Ketika mereka melihat Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih lewat, maka mereka pun segera menghambur keluar regol halaman banjar, untuk menemui Ki Lurah dan Glagah Putih.

“Senu tadi berkelahi dengan Kina, Ki Lurah,” berkata seorang di antara anak-anak muda itu.

“Kenapa?” bertanya Ki Lurah.

“Tidak seorangpun yang dapat mengatakan sebabnya yang pasti, kenapa keduanya terlibat dalam perkelahian itu.”

Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Senu yang tinggal di ujung padukuhan ini? Yang di sudut halaman rumahnya terdapat sebatang pohon sukun yang besar itu?”

“Ya.”

“Dan Kina anak dari padukuhan Minggir, Kademangan Pudak Lawang? Dimana mereka berkelahi?”

“Di bulak Prau.”

“Tentu ada sebabnya. Mereka tentu tidak tiba-tiba saja berkelahi.”

“Ya. Tentu ada sebabnya. Tetapi tidak begitu jelas bagi kami. Senu juga segan mengatakan, kenapa ia berkelahi dengan Kina. Tetapi yang aku ketahui, Senu nampaknya telah bertemu dan berbincang bahkan sedikit bergurau dengan Prenik.”

“Mereka bertemu di bulak Prau?”

“Ya. Prenik dari pasar menjual jahe. Seorang penjual jamu telah memesan jahe kepadanya. Pulang dari pasar, ia bertemu dengan Senu. Sudah lama mereka berkenalan. Tetapi agaknya Kina, anak muda sepadukuhan dengan Prenik, tidak senang melihat hubungan itu, sehingga mereka telah bertengkar.”

“Apa yang dilakukan Prenik?”

“Menurut Senu, Prenik hanya dapat lari pulang ke Minggir.”

“Tidak ada yang melerai perkelahian itu?”

“Ada. Dua orang yang sedang di sawah melihat kedua anak muda itu berkelahi. Mereka memang berhasil melerai mereka. Tetapi keduanya masih tetap dendam.”

“Kenapa tiba-tiba saja anak Minggir itu jadi galak?”

“Bukan saja anak Minggir. Anak Pasiraman, di sekitar Bukit laras, Tlaga Simping dan bahkan padukuhan-padukuhan di Pudak Lawang, menjadi galak. Pemarah dan selalu berusaha memisahkan diri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah sore nanti aku menemui Senu. Ia harus tahu bahwa persoalannya tidak terbatas pada pertemuannya dengan Prenik. Ada masalah yang agaknya lebih luas dari sekedar bertemu dengan Prenik. Persoalan yang meliputi Kademangan Pudak Lawang.”

“Ya. Agaknya Ki Lurah dan Kakang Glagah Putih perlu memperhatikan kademangan itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya anak-anak muda di padukuhan induk sudah banyak yang mengetahui, bahwa anak-anak muda dari Kademangan Pudak Lawang bertingkah laku aneh.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “kita akan memikirkannya lebih jauh.”

“Terima kasih, Ki Lurah. Nampaknya persoalannya memang agak menarik perhatian.”

“Jika kalian melihat sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi, laporkan kepada Ki Gede atau kepada kami.”

“Ya, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera melanjutkan perjalanan.

Namun nampaknya Glagah Putih ingin segera bertemu dengan Senu. Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, “Kakang. Aku akan singgah sebentar di rumah Senu. Daripada nanti aku harus berangkat lagi dari rumah, lebih baik aku langsung singgah di rumahnya. Biarlah Kakang pulang saja lebih dahulu.”

“Baiklah,” sahut Agung Sedayu, “tetapi jangan mengambil sikap lebih dahulu.”

“Baik, Kakang.”

Di simpang tiga, keduanya pun berpisah. Agung Sedayu berjalan terus langsung pulang, sementara itu Glagah Putih berbelok ke kanan.

Ketika Glagah Putih sampai di rumah Senu, ia melihat beberapa orang berada di rumah itu. Dua orang laki-laki yang masih terhitung muda. Seorang adalah kakak kandung Senu, yang seorang kakak iparnya. Seorang pamannya juga berada di rumah itu.

“Marilah, Ngger,” ayah Senu mempersilahkan.

“Dimana Senu?”

“Silahkan duduk.”

Glagah Putih pun kemudian duduk di serambi bersama ketiga orang laki-laki yang berada di rumah Senu. Baru sejenak kemudian Senu pun keluar dari ruang dalam.

“Kakang, Glagah Putih,” desis Senu.

“Aku mendengar dari anak-anak di banjar, kau tadi berkelahi, Senu.”

“Memalukan, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin berita ini tersebar.”

“Kenapa memalukan?”

“Persoalannya adalah persoalan perempuan.”

“Prenik maksudmu?”

“Darimana Kakang Glagah Putih tahu?”

“Seseorang mengatakan kepadaku.”

“Sudahlah, Kakang. Persoalannya nanti semakin tersebar kemana-mana. Aku benar-benar menjadi malu.”

“Soalnya bukan soal Prenik, Senu. Tetapi kita sedang memperhatikan anak-anak muda dari beberapa padukuhan di Kademangan Pudak Lawang. Inilah yang lebih menarik perhatian daripada persoalan Prenik.”

Senu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Anak-anak Pudak Lawang.”

Tiba-tiba saja kakak Senu itu pun berkata, “Ya. Anak Pudak Lawang. Mereka sekarang menjadi garang. Pembagian air di sawah juga menjadi agak kacau sekarang, karena pokal anak-anak Pudak Lawang.”

“Kita harus berhati-hati menghadapi mereka. Mungkin persoalannya tidak sederhana yang kita duga.”

“Ya, Kakang.”

“Nah. Aku minta untuk sementara kau tidak keluar dari padukuhan, Senu. Bukan maksudku untuk mengatakan bahwa kau menjadi ketakutan karena Kina. Tetapi kita harus melihat persoalannya dalam bingkai yang lebih luas.”

“Aku mengerti, Kakang.”

Beberapa saat lamanya Glagah Putih berada di rumah Senu. Dari kakak, kakak ipar dan paman Senu, Glagah Putih mendengar beberapa cerita yang membuatnya semakin yakin, bahwa pengaruh buruk telah bertiup di atas kademangan yang dianggap kademangan terkuat di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Setelah beberapa lama Glagah Putih berbincang dengan keluarga Senu, maka Glagah Putih pun segera minta diri.

Di rumah, kepada Ki Lurah Agung Sedayu Glagah Putih mengatakan, “Kita tidak akan dapat menunggu terlalu lama, Kakang.”

“Tidak terlalu lama. Nanti malam Ki Argajaya akan mengajak Prastawa menghadap Ki Gede. Besok pagi kita dapat menghadap dan mendengar, apa yang sebenarnya terjadi dengan Prastawa.”

“Nanti petang, aku ingin pergi ke Pudak Lawang, Kakang.”

“Jangan, Glagah Putih. Kau harus lebih sabar sedikit. Jika kau salah langkah, justru kau-lah yang akan terjebak, sehingga semua orang akan menganggap bahwa kau-lah yang telah menyulut persoalan.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Ki Jayaraga yang ikut duduk bersama mereka pun berkata, “Jangan, Ngger. Kita harus lebih berhati-hati menghadapi persoalan ini. Ketika aku melihat orang yang disebut Ki Kapat Argajalu lewat di jalan bulak bersama Prastawa dan kedua anaknya yang bernama Soma dan Tumpak itu, tiba-tiba saja aku telah teringat sesuatu.”

“Teringat apa, Ki Jayaraga?”

“Dahulu, telah cukup lama terjadi, aku mengenal meskipun tidak secara pribadi, seorang berilmu tinggi yang hidup dalam bayangan kegelapan. Mereka berada dalam satu lingkungan dengan beberapa orang muridku yang lepas dari kendali. Bahkan hampir semua muridku telah melintas di jalan sesat, sehingga akhirnya aku menemukan Glagah Putih. Beruntunglah aku bahwa jiwa Glagah Putih sudah terbentuk pada saat aku menemukannya, sehingga aku tidak merasa cemas bahwa Glagah Putih pun akan kehilangan kendali. Dengan demikian aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa seandainya aku berhasil mewariskan ilmu kanuragan kepada murid-muridku, namun ternyata aku tidak mampu memberikan tuntunan jiwa kepada mereka.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementera Glagah Putih menundukkan kepalanya.

“Orang itu, yang disebut Kapat Argajalu, adalah salah seorang yang berilmu tinggi yang sempat menghimpun beberapa orang yang di antaranya adalah muridku. Aku tidak tahu, apa yang dilakukannya sekarang. Waktu itu aku juga tidak tahu bahwa Kapat Argajalu adalah seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan Ki Gede Menoreh. Tetapi keberadaannya di Tanah Perdikan ini akan dapat menyulut api yang dapat membakar kehidupan tenang dan damai di Tanah Perdikan ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia mulai mengerti, kenapa Ki Jayaraga menjadi lebih akrab dengan sanggar daripada waktu-waktu sebelumnya. Agaknya Ki Kapat Argajalu telah mengingatkannya pada suatu keadaan yang sangat merisaukannya. Karena menurut pengenalan Ki Jayaraga, Ki Kapat Argajalu telah sempat membawa muridnya ke jalan yang gelap.

“Ki Jayaraga yakin bahwa Kapat Argajalu itu benar-benar orang yang pernah Ki Jayaraga kenal?”

“Nampaknya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak mengenalnya secara pribadi. Namanya pun bukan nama yang dipergunakannya sekarang.”

“Jika demikian, kita memang harus menjadi semakin berhati-hati.”

“Tetapi Kapat Argajalu itu sama sekali tidak memperhatikan aku ketika ia lewat di jalan bulak. Kebetulan aku berada di sawah, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di antara batang-batang padi muda, dengan mengenakan caping untuk melindungi kepalaku dari teriknya panas matahari.”

“Baiklah, Ki Jayaraga,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “besok aku akan berbicara dengan Ki Gede Menoreh.”

“Kita harus sudah mengambil langkah-langkah, Kakang. Kasihan anak-anak Pudak Lawang jika terlanjur dihimpun oleh Ki Kapat Argajalu untuk mendukung niatnya yang sesat.”

“Aku lebih kasihan lagi kepada Prastawa, apabila ia benar-benar telah terpengaruh oleh Ki Kapat Argajalu.”

“Seharusnya Prastawa dapat mengingat pengalaman buruk yang pernah terjadi. Tidak saja karena sikap perlawanan ayahnya terhadap Ki Gede, tetapi sikap Prastawa pada waktu itu,” desis Glagah Putih.

“Besok kita akan berbicara panjang dengan Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede berhasil meluruskan jalan Prastawa yang mulai merambah jalan sesat itu.”

Ketika matahari menjadi semakin rendah, Ki Argajaya telah melintasi kebun di belakang rumahnya, menyusup pintu butulan memasuki kebun belakang rumah Prastawa.

“Ayah,” desis Prastawa yang sedang duduk di serambi belakang bersama istrinya. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Ki Argajaya itu pun melangkah mendekati mereka.

“Silahkan, Ayah,” berkata istri Prastawa sambil bangkit berdiri.

“Duduk sajalah. Kau tidak usah kemana-mana,” berkata Ki Argajaya.

“Aku akan ke dapur, Ayah.”

Ki Argajaya tersenyum. katanya, “Kau tidak usah menjadi sibuk karena kedatanganku. Bukankah aku bukan tamu?”

Istri Prastawa tersenyum. Namun iapun kemudian meninggalkan serambi. Prastawa-lah yang kemudian duduk menemui ayahnya.

“Prastawa,” berkata Ki Argajaya, “aku hanya sebentar. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa nanti malam kita berdua dipanggil menghadap oleh pamanmu Argapati.”

“Ada apa lagi, Ayah?”

“Mungkin ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan dengan kita.”

“Kenapa tidak Ayah sendiri saja yang datang menghadap Paman Argapati?”

“Yang dipanggil adalah aku dan kau. Kita berdua. Sebaiknya kita berdua datang menghadap.”

“Ayah sajalah.”

“Prastawa. Sebelumnya kau rajin menemui pamanmu. Bahkan kau lebih lama berada di rumah pamanmu daripada di rumah ayahmu atau bahkan di rumahmu sendiri. Kenapa tiba-tiba sekarang kau merasa malas untuk pergi menghadap pamanmu?”

Pratawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sedang pening, Ayah.”

“Kenapa?”

“Mungkin karena udara buruk. Tetapi mungkin karena letih, atau sebab-sebab lain yang aku tidak tahu.”

“Kau harus memaksa diri untuk datang menemui pamanmu itu.”

“Kenapa Ayah tidak dapat mengerti keadaanku? Kepalaku pening. Perutku terasa mual.”

“Kau harus dapat mengatasinya. Malam nanti kita pergi ke rumah pamanmu. Nanti lewat senja kita berangkat. Aku menunggumu. Jika pada saatnya kau tidak datang, aku-lah yang akan datang kemari.”

Prastawa tidak dapat mengelak lagi. Ia hanya dapat mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Ayah. Nanti aku akan singgah di rumah Ayah.”

“Baiklah. Aku akan menunggumu lewat senja.”

Namun ketika Ki Argajaya akan minta diri, maka istri Prastawa itu telah datang sambil membawa minuman hangat.

“Minum dahulu, Ayah,” menantu Ki Argajaya itu mempersilahkan.

“Terima kasih. Sudah aku katakan, kau tidak usah menyibukkan diri. Bukankah aku bukan tamu?”

“Hanya minuman saja, Ayah.”

Ki Argajaya tidak mau mengecewakan menantunya. Karena itu, maka iapun menghirup minuman hangat itu.

“Segarnya minuman hangatmu, Nduk,” desis Ki Argajaya sambil mengusap keringatnya yang mengembun di kening.

Namun sejenak kemudian, Ki Argajaya itu benar-benar minta diri, meninggalkan Prastawa dan istrinya di serambi.

“Apa yang Ayah katakan?” bertanya istri Prastawa.

“Ayah mengajak aku malam nanti menghadap Paman Argapati.”

“Bukankah itu satu kebetulan, Kakang?”

“Kenapa kebetulan?”

“Kau dapat menyampaikan langsung kepada Ki Gede, bahwa Kakang Swandaru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Tanah Perdikan ini, karena ia tentu akan mementingkan kademangannya sendiri. Kademangan. Sangkal Putung adalah sebuah kademangan yang besar yang menyimpan beratus persoalannya sendiri, sehingga kapan Kakang Swandaru dapat mengurusi Tanah Perdikan ini? Karena itu, Kakang dapat mengajukan persoalan itu sedini mungkin kepada Paman Argapati.”

“Kenapa aku harus mempersoalkannya?”

“Bukankah jelas apa yang dikatakan oleh Uwa Kapat Argajalu? Kemarin malam Uwa Kapat Argajalu sudah menguraikan dengan jelas, apa yang sebaiknya Kakang lakukan. Bukankah Kakang tidak dapat memilih jalan untuk menikahi Mbokayu Pandan Wangi? Untuk memilih jalan kedua dengan menyingkirkan Mbokayu Pandan Wangi, agaknya Kakang juga merasa ragu. Apalagi yang harus disingkirkan sedikitnya harus dua orang, Mbokayu Pandan Wangi dan anak laki-Lakinya. Karena itu, jalan yang lain adalah berterus terang kepada Paman Argapati. Atau pilihan berikutnya adalah mengerahkan kekuatan yang telah siap mendukung niat Kakang untuk mengambil alih kekuasaan.”

Prastawa terdiam. Sementara istrinya pun berkata, “Menurut pendapatku, jalan terbaik adalah berkata terus terang kepada Paman Argapati. Jika Paman setuju, maka tidak akan ada yang harus dikorbankan. Bahkan barangkali Kakang Swandaru akan berterima kasih kepadamu karena bebannya berkurang.”

Namun Prastawa itu pun menggeleng, “Aku tidak akan memberontak, Nyi.”

“Ini bukan satu pemberontakan, Kakang. Tetapi Kakang tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa tanpa langkah-langkah yang pasti, hari depan Tanah Perdikan ini akan menjadi suram.”

“Untuk membicarakannya, tentu Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi harus hadir.”

“Mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari kepentingan pribadi mereka.”

“Jika demikian, kenapa kau dapat mengatakan bahwa Kakang Swandaru akan berterima kasih karena bebannya berkurang?”

Istri Prastawa itu terhenyak sejenak. Namun kemudian ia masih juga sempat mengelak, “Tergantung kepada kejujuran Kakang Swandaru. Jika ia jujur, ia akan berterima kasih kepadamu. Tetapi jika ia tidak jujur dan bahkan seorang yang tamak, maka ia akan menolak untuk menyerahkan warisan dari mertuanya. Nah, dalam keadaan yang demikian, kau dapat mempergunakan cara terakhir. Berlandaskan dukungan yang sudah sempat kau himpun, kau ambil hakmu dengan kekerasan.”

“Penilaianmu-lah yang tidak jujur.”

“Aku akan berkata jujur, Kakang. Bukankah sejak semula aku berkata sesuai dengan nuraniku? Kau-lah yang berhak memegang kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Kau harus memperjuangkannya dengan cara apapun juga. Uwa Kapat Argajalu sudah berjanji untuk mendukungmu. Tidak sekedar dengan kata-kata. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia akan membantu dengan kekuatan. Uwa Kapat Argajalu adalah seorang pemimpin padepokan yang mempunyai banyak sekali murid. Iapun seorang yang berilmu tinggi, sebagaimana pernah kau katakan kepadaku. Nah, apa lagi? Sedangkan Kademangan Pudak Lawang, kademangan yang menurut Kakang adalah kademangan terkuat di Tanah Perdikan ini, sudah menyatakan dukungannya kepadamu. Nah, apa lagi?”

“Bukankah yang kau katakan itu sama sekali bukan pandangan jauhmu atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini? Tetapi yang kau katakan itu adalah pamrih pribadimu. Jika aku dapat menggenggam jabatan itu, maka kau akan menjadi perempuan yang paling terhormat di Tanah Perdikan ini.”

Istrinya mencibirkan bibirnya. katanya, “Apakah seseorang itu tidak dibenarkan mempunyai penggayuh? Kau jangan menjadi laki-laki cengeng, Kakang. Kau harus menjadi seorang laki-laki yang berhati kokoh. Bercita-cita tinggi. Bukan saja bagi dirimu sendiri, tetapi juga bagi bumimu. Tanah Perdikan ini.”

Prastawa menggeleng. Katanya, “Aku tidak dapat melakukannya. Aku mempunyai pengalaman yang dapat mengajari aku untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Ayah pernah melakukannya. Aku juga pernah. Peristiwa itu tergores di jantungku. Luka itu tidak akan pernah sembuh.”

“Apakah kau benar-benar seorang laki-laki cengeng? Ketika aku memilih kau sebagai suamiku dengan berbagai macam rintangan, aku menganggapmu sebagai seorang iaki-laki yang kokoh. Aku bermimpi bersuamikan pahlawan. Tetapi sekarang ternyata sifat-sifat yang pernah aku lihat ada padamu itu telah menjadi rapuh. Justru pada saat anakmu baru akan lahir. Aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan dirimu dalam usiamu yang menjadi semakin tua. Kau akan menjadi laki-laki yang terbuang.”

Prastawa menggeretakkan giginya. Ia memang tidak dapat melupakan pengalaman pahit yang pernah dialami oleh ayahnya dan oleh dirinya sediri. Prastawa tidak dapat mengingkari kekuatan yang tersimpan di dalam diri pamannya. Pengaruhnya, wibawanya dan kemampuannya mengendalikan pemerintahan di Tanah Perdikan Menoreh. Iapun tidak dapat mengingkari kekuatan, kemampuan dan tataran ilmu yang tinggi pada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Prastawa menengadahkan wajahnya.

“Tetapi segala sesuatunya terserah kepada Kakang. Aku hanyalah seorang perempuan. Seorang perempuan yang berbeda dengan Mbokayu Pandan Wangi, Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan. Mereka memiliki kemampuan olah kanuragan, yang jika perlu dapat mereka pergunakan untuk memaksakan kehendak mereka. Tetapi aku tidak. Aku tidak lebih dari seorang perempuan yang swarga nunut, neraka katut.”

Prastawa tidak menjawab. Ada semacam benturan-benturan yang keras yang terjadi di dalam dadanya. Rasa-rasanya Prastawa itu berdiri di jalan simpang yang tidak diketahuinya arah dan ujungnya.

“Apakah aku masih harus mengulangi kesalahan yang pernah di lakukan oleh Ayah, dan aku lakukan sendiri?”

Prastawa itu pun kemudian duduk termenung di serambi. Istrinya-lah yang kemudian bangkit berdiri dan meninggalkannya termangu-mangu. Bagaimanapun juga Prastawa itu sangat mencintai istrinya. Ayahnya pernah merasa bimbang untuk menerima perempuan itu sebagai menantunya, sehingga pernikahan Prastawa tertunda-tunda. Namun akhirnya perempuan itu menjadi istrinya juga. Bahkan mereka sedang menunggu anak mereka yang akan lahir.

“Apakah harus memenuhi harapan istriku?” Pertanyaan itu mulai bergejolak di dalam hatinya.

Dalam pada itu, waktu pun bergerak terus. Menjelang senja, Prastawa pun pergi ke pakiwan. Seperti yang dikatakan ayahnya, maka lewat senja Prastawa telah berada di rumah ayahnya.

Sementara itu, Ki Argajaya juga sudah siap. Karena itu, demikian Prastawa datang, maka keduanya pun segera berangkat

“Dimana Uwa Kapat Argajalu, Kakang Soma dan Kakang Tumpak, Ayah?” bertanya Prastawa demikian mereka turun ke jalan.

“Ada di gandok,” jawab ayahnya.

“Ayah tidak memberitahukan kepada mereka, bahwa Ayah akan pergi menemui Paman Argapati?”

“Tidak.”

“Apakah mereka tahu, bahwa Ayah akan pergi menemui Paman?”

“Tidak. Tidak ada gunanya aku memberitahukan kepada mereka. Aku tidak menaruh hormat lagi kepada mereka sebagaimana saat mereka datang.”

“Kenapa? Bukankah mereka tamu kita?”

“Ya. Tetapi tamu yang tidak tahu diri.”

“Kenapa Ayah merasa tidak senang atas keberadaan mereka di sini?”

“Kau tentu dapat menjawabnya sendiri. Aku bukan saja tidak senang. Tetapi aku sudah muak. Apakah kau tidak merasakannya?”

Prastawa tidak segera menjawab. Terngiang kata-kata istrinya, bahwa ia adalah seorang laki-laki cengeng yang sudah rapuh. Yang tidak lagi mempunyai gegayuhan.

“Prastawa,” berkata ayahnya, “aku sudah mendengar apa saja yang kau lakukan bersama Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Apakah kau masih belum jera mengalami peristiwa-peristiwa yang bagaikan mimpi buruk itu? Untunglah bahwa aku dengan kesalahanku dan kau dengan kesalahanmu, telah dimaafkan, sehingga sampai saat ini kita masih sempat menikmati segarnya udara di bumi ini?”

Prastawa masih tetap diam. Tetapi di dadanya telah terjadi gejolak yang riuh.

Beberapa saat mereka berdua saling berdiam diri. Keduanya hanyut di dalam angan-angan mereka masing-masing. Sementara itu kaki mereka masih saja melangkah menyusuri jalan utama di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah memasuki regol halaman rumah Ki Gede Menoreh. Rasa-rasanya Prastawa sudah terlalu lama tidak memasuki halaman rumah itu.

Demikian keduanya naik tangga pendapa, maka Ki Argapati yang telah diberitahu akan kedatangan mereka, telah keluar dari pintu pringgitan sambil mempersilahkan keduanya.

“Marilah, duduklah di pringgitan,” berkata Ki Argapati.

Ki Argajaya pun telah mengajak anaknya langsung duduk di pringgitan, sementara Ki Argapati pun telah menemui mereka pula. Prastawa yang duduk di sebelah ayahnya menundukkan kepalanya, sementara Ki Gede bertanya, “Dari mana saja kalian berdua?”

Ki Argajaya-lah yang menjawab, “Dari rumah, Kakang. Aku sengaja mengajak Prastawa memenuhi panggilan Kakang Argapati malam ini.”

“Terima kasih atas kesediaan kalian berdua,” berkata Ki Gede. kemudian sambil tersenyum berkata, “Apakah Kakang Kapat Argajalu masih berada di rumahmu?”

“Masih, Kakang. Aku tidak tahu, sampai kapan mereka akan tinggal di rumahku.”

“Aku hargai keinginannya untuk menyambung persaudaraan kita dengan mereka yang sudah hampir terputus.”

“Ya, Kakang. Itulah sebabnya aku masih tetap membiarkannya tinggal di rumah kami.”

Prastawa masih saja menunduk. Tetapi jantungnya berdetak semakin cepat. Ia sudah menduga arah pembicaraan paman dan ayahnya itu. Namun pembicaraan mereka,yang baru mulai itu terhenti. Seorang pembantu di rumah Ki Gede menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.

“Marilah. Minumlah. Mumpung masih hangat.”

“Terima kasih, Kakang.”

Ki Argapati dan Ki Argajaya pun mengangkat mangkuknya. Tetapi Prastawa masih saja duduk sambil menunduk.

“Minumlah, Prastawa. Seperti biasanya. Kenapa kau tiba-tiba saja berubah?”

Prastawa menjadi gagap. Katanya, “Terima kasih, Paman.”

Prastawa pun meraih mangkuknya pula. Sebagaimana Ki Argapati dan Ki Argajaya, Prastawa pun minum minuman hangatnya seteguk.

Setelah mereka meletakkan mangkuk mereka dan kemudian dipersilahkan makan sepotong makanan, maka Ki Argapati pun berkata, “Adi Argajaya. Kedatangan Kakang Kapat Argajalu telah menimbulkan beberapa gejolak di permukaan. Mudah-mudahan hanya di permukaan saja.”

“Ya, Kakang. Kita memang harus membicarakannya sampai tuntas, agar tidak menimbulkan gejolak di masa datang.”

“Prastawa,” suara Ki Gede menjadi berat, “baiklah kita bicara dengan terbuka. Apa sebenarnya yang telah terjadi padamu? Hubunganmu dengan uwakmu Kapat Argajalu. Apa pula yang diinginkannya, dan bagaimana tanggapanmu?”

Prastawa menjadi semakin menunduk. Sementara itu ayahnya pun berkata, “Tidak ada yang perlu disembunyikan, Prastawa. Aku adalah ayahmu. Sedangkan Kakang Argapati adalah pamanmu, yang memberikan banyak sekali wewenang atas dasar kepercayaannya kepadamu.”

Prastawa tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya yang tunduk menjadi semakin tunduk.

“Prastawa,” berkata Ki Argapati, ” aku tidak berniat mengadilimu. Tetapi aku justru ingin menolongmu.”

Prastawa mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itu pun menunduk lagi. Sementara pamannya berkata, “Karena itu, kau harus berterus terang. Dengan demikian, kami, maksudku aku dan ayahmu, tahu apa sebenarnya yang telah terjadi padamu, setelah uwakmu Kapat Argajalu datang ke Tanah Perdikan ini.”

Prastawa tidak segera menjawab. Terasa dadanya menjadi sesak. Nafasnya pun tersendat pula.

“Berkatalah sesuatu, Prastawa. Jika kau sudah mengucapkan satu patah kata saja, maka yang lain pun akan segera mengalir.”

“Aku mohon ampun, Paman,” berkata Prastawa kemudian, “aku terlalu banyak mendengar cerita, petunjuk, dan mungkin juga bujukan, sehingga aku menjadi sangat bingung.”

“Apa yang dikatakannya?”

“Paman. Uwa Kapat Argajalu mendorong agar aku menyampaikan kepada Paman, bahwa aku adalah salah seorang yang berhak mewarisi kedudukan Paman di Tanah Perdikan ini.”

“Kau telan juga bujukan iblis itu, Prastawa?” geram Ki Argajaya.

“Nanti dulu, Argajaya. Biarlah Prastawa berbicara lebih banyak,” berkata Ki Gede dengan serta-merta.

“Aku menjadi sangat bingung. Uwa Kapat Argajalu telah membumbui bujukannya dengan berbagai macam mimpi-mimpi indah di kemudian hari.”

“Apa saja yang dikatakannya?”

“Paman,” kata-kata Prastawa menjadi lebih lancar, “menurut Uwa Kapat Argajalu, tidak sebaiknya Kakang Swandaru memerintah Tanah Perdikan ini atas nama Mbokayu Pandan Wangi, karena Kakang Swandaru sudah mempunyai tanggung jawab sendiri di Kademangan Sangkal Putung. Sebuah kademangan yang besar dan mempunyai kedudukan penting di antara Mataram dan Pajang.”

Ki Argapati mengangguk-angguk. Sementara itu, Prastawa pun melanjutkan, “Karena itu, maka jika bukan Mbokayu Pandan Wangi, aku-lah yang mempunyai hak untuk mewarisi Tanah Perdikan ini.”

“Itukah yang ditiupkan ke telingamu sehingga kau menjadi bingung, Prastawa?” bertanya Ki Gede. Suaranya masih saja tetap lunak. Wajahnya tidak berubah dan tidak nampak kegelisahan pada sikapnya. Karena itu, maka Prastawa menjadi lebih berani berbicara dengan terbuka.

“Namun jika Kakang Swandaru seorang yang tamak serta tidak merelakan kedudukan pemimpin Tanah Perdikan ini kepadaku dengan baik-baik, maka aku telah mempersiapkan kekuatan yang akan dapat aku pergunakan untuk menguasai Tanah Perdikan ini dengan paksa.”

“Karena itukah maka telah terjadi kejanggalan-kejanggalan di Kademangan Pudak Lawang?”

Prastawa mengangguk sambil menjawab perlahan, “Ya, Paman. Aku telah membuat sekat antara Kademangan Pudak Lawang dengan kademangan-kademangan lain.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Suaranya masih tetap tidak berubah ketika Ki Gede itu berkata, “Kau sadari bahwa perbuatanmu itu keliru, Prastawa?”

“Ya, Paman. Aku telah membuat kesalahan yang besar sekali.”

“Jika kau sadari bahwa kau telah melakukan kesalahan, lalu apakah yang akan kau lakukan kemudian?”

Prastawa tidak segera menyahut. Terasa dadanya menjadi semakin sesak. Bahkan kemudian matanya menjadi basah.

“Prastawa,” berkata ayahnya kemudian, “kau mengerti bahwa aku pernah berkhianat. Kau pun pernah melakukan kesalahan pula. Tetapi kita sudah mendapatkan pengampunan. Bahkan kita sudah mendapatkan kepercayaan Ki Gede kembali. Kita sudah mendapatkan banyak wewenang dalam pemerintahan ini. Karena itu, Prastawa, aku minta kau dapat berpikir panjang. Aku tidak ingin orang-orang Tanah Perdikan ini menyebutmu seorang pengkhianat karena kau anak seorang pengkhianat pula. Hatiku akan merasa lebih sakit jika ada orang yang menyebut bahwa aku telah mewariskan dosaku terhadap Tanah Perdikan ini kepadamu. Kepada anakku laki-laki, sehingga anakku telah melakukan dosa sebagaimana pernah aku lakukan pula.”

“Aku minta maaf, Ayah. Aku telah menyadari betapa bodohnya aku.”

“Sudahlah, Prastawa. Jika kau sudah menyadari dan berusaha menempuh jalan kembali, maka persoalanmu sudah selesai. Kau belum berbuat apa-apa yang dapat disebut sebagai satu kesalahan terhadap Tanah ini, meskipun tanda-tandanya sudah nampak. Karena itu, jangan bertemu dan berbicara lagi dengan uwakmu Kapat Argajalu serta kedua anaknya. Kau harus menghindari mereka dengan cara apapun juga,” berkata Ki Argapati.

“Ya, Paman.”

“Jika uwakmu datang mengunjungimu, katakan bahwa kau sedang sakit, atau sedang apa saja, sehingga kau tidak dapat menemuinya. Atau bahkan lebih baik jika kau berada di sini, atau di rumah ayahmu,” berkata Ki Gede kemudian.

“Ya, Paman.”

“Nah, Prastawa. Sekarang aku sudah tahu, apa yang sebenarnya terjadi atas dirimu. Apa saja yang sedang kau pikirkan, dan siapa saja yang telah membuatmu menjadi bingung. Karena itu, maka biarlah kami membantumu, mengatasi gejolak yang telah terjadi di dalam dirimu.”

Prastawa itu pun mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Terima kasih, Paman. Tetapi masih ada satu hal lagi yang perlu aku beritahukan. Meskipun agak sulit bagiku untuk mengatakannya. Namun untuk melindungi nyawa seseorang, aku perlu mengatakannya.”

“Katakan, Prastawa.”

“Paman. Uwa Kapat Argajalu juga berbicara tentang Mbokayu Pandan Wangi.”

“Apa katanya?”

“Uwa Kapat Argajalu menyalahkan aku, kenapa aku tidak menikah dengan Mbokayu Pandan Wangi.”

Ki Argajaya pun menggeram, “Ternyata orang itu sudah gila.”

“Apa jawabmu?”

“Bukankah itu tidak mungkin, karena Mbokayu Pandan Wangi telah menjadi istri Kakang Swandaru?”

“Ya.”

“Ternyata Uwa Kapat Argajalu mempunyai pikiran buruk. Jika Mbokayu Pandan Wangi dan anak laki-lakinya disingkirkan, maka aku adalah satu-satunya pewaris jabatan Kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini.”

Wajah Ki Gede Menoreh tidak lagi nampak tenang dan teduh. Nampak gejolak di tatapan matanya. Namun suaranya masih tidak berubah, “Terima kasih atas keteranganmu, Prastawa. Dengan demikian aku dapat memberinya peringatan, agar Pandan Wangi tidak terjebak oleh rencana jahat Kapat Argajalu.”

“Ya, Paman. Aku mohon Mbokayu Pandan Wangi diberi peringatan secepatnya.”

“Baik. Besok akan ada orang yang pergi ke Sangkal Putung.”

“Semakin cepat semakin baik, Paman.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Semakin cepat semakin baik. Tetapi Mbokayu Pandan Wangi bukan perempuan kebanyakan. Ia juga mempunyai bekal untuk melindungi dirinya sendiri. Meskipun demikian, ia harus mengetahui bahwa ada kemungkinan orang-orang jahat akan merunduknya, seperti seekor harimau merunduk mangsanya.”

“Ya, Paman.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, Prastawa.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Argajaya dan Prastawa pun telah minta diri. Ki Argapati masih memberinya beberapa pesan, sebelum keduanya kemudian bangkit dan turun ke halaman. Menjelang tengah malam, Ki Argajaya dan Prastawa meninggalkan regol halaman rumah Ki Argapati.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di rumah Ki Argajaya. Kepada Prastawa, Ki Argajaya pun berkata, “Kau tidak usah masuk ke halaman rumahku. Jika uwakmu tahu kita pulang, ia akan keluar dari biliknya. Ia akan dapat bertanya tentang banyak hal dan berbicara tentang macam-macam persoalan.”

“Baik, Ayah.”

“Pulanglah lewat jalan, meskipun melingkar.”

Prastawa tidak singgah di rumah ayahnya. Iapun tidak pulang lewat halaman dan kebun belakang rumahnya. Tetapi Prastawa berjalan melingkar untuk menghindari uwaknya serta kedua orang anaknya.

Ketika Ki Argajaya kemudian memasuki longkangan dan mengetuk pintu di sudut belakang, maka seorang pembantu di rumahnya segera bangun. Dibukanya pintu butulan yang menghadap ke longkangannya. Ki Argajaya merasa bersyukur, bahwa Ki Kapat Argajalu tidak terbangun dan keluar dari biliknya untuk menemuinya.

Sementara itu, Prastawa yang berjalan melingkar telah sampai di rumahnya. Seperti biasanya jika ia pulang malam, ia mengetuk dinding biliknya dari longkangan di belakang seketheng. Seperti biasanya, istrinya-lah yang membuka pintu samping. Sambil mengusap keringatnya di kening, istrinya itu pun bertanya, “Sampai malam, Kakang.”

“Ya. Banyak hal yang aku bicarakan dengan Paman Argapati.”

“Tentang apa saja?”

“Macam-macam,” jawab Prastawa.

Keduanya pun kemudian duduk di ruang tengah. Sekali-sekali istrinya masih saja mengusap keringatnya yang mengembun di kening.

“Panasnya udara, Kakang,” desis istrinya sambil mengusap keringatnya. Bahkan juga di leher dan punggungnya.

Prastawa merasa heran. Menurut pendapatnya malam itu terasa dingin. Angin malam yang basah bertiup dari arah laut.

“Mungkin karena aku baru saja berada di udara terbuka,” berkata Prastawa di dalam hatinya.

Sementara itu, istrinya pun bertanya, “Apakah hasil pembicaraan Kakang dengan Paman Argapati? Apakah Kakang sudah menyampaikan kepada Paman, bahwa Kakang berhak atas Tanah Perdikan ini?”

Prastawa memandangi istrinya dengan sorot mata yang tajam, seakan-akan langsung menusuk ke ulu hatinya. Kemudian dengan nada berat Prastawa itu pun berkata, “Tidak, Nyi. Aku tidak dapat menuntut apa-apa. Selama ini Paman telah berbuat sangat baik kepadaku dan kepada ayahku. Meskipun ayahku pernah berkhianat, tetapi ayahku tidak pernah dihukum.”

Istrinya memandang Prastawa dengan pandangan yang aneh. Dengan nada berat istrinya itu pun bertanya, “Jadi Kakang tidak mengatakan kepada Paman Argapati, bahwa Kakang menuntut hak atas Tanah ini?”

“Aku belum gila, Nyi.”

Wajah istrinya tiba-tiba saja menjadi pucat. Dengan suara bergetar iapun berkata, “Kakang. Ampuni aku.”

Prastawa memandang wajah istrinya yang pucat yang basah oleh keringat dan bahkan kemudian oleh air mata. “Nyi. Maaf bahwa aku telah mengecewakanmu. Tetapi tentu ini yang kau inginkan pada saat kita menikah? Menurut pendapatku, kau bukan seorang yang tamak, yang selalu menginginkan derajad, pangkat dan semat tanpa batas. Bukan seorang yang selalu berusaha untuk mendapatkan lebih banyak dari yang sudah dimilikinya. Bukankah kau dapat mensyukuri kurnia yang telah kita nikmati sekarang ini?”

Istrinya tidak menjawab. Tetapi tangisnya-lah yang bagaikan meledak.

“Katakan, Nyi. Katakan. Apa yang bergejolak di dalam hatimu.”

Tetapi istrinya tidak menjawab. Isaknya saja-lah yang semakin menyesakkan dadanya.

Prastawa memang menjadi bingung. Ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya bergetar di dalam dadanya. Namun tiba-tiba saja terdengar suara, “Ia sudah mengatakan apa yang diinginkannya, Ngger.”

Prastawa berpaling. Ia terkejut ketika ia melihat Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak keluar dari dalam biliknya.

“Uwa?” desis Prastawa.

“Ya, Ngger. Seperti pamanmu, aku juga ingin berbicara denganmu sampai tuntas malam ini.”

Jantung Prastawa berdebar semakin cepat. Namun dengan nada datar iapun berkata, “Tidak ada yang harus kita bicarakan malam ini, Uwa. Aku letih sekali. Aku ingin tidur.”

“Tidak. Kita akan berbicara. Aku sudah terlalu lama berada di sini. Selama ini aku berusaha meyakinkanmu, agar kau segera mengambil langkah-langkah yang pasti untuk menuju ke jenjang yang paling tinggi di Tanah Perdikan ini. Tetapi kau masih saja ragu-ragu. Bahkan ketika istrimu minta kau melakukannya, kau sama sekali tidak memperlihatkannya. Padahal kau tahu, bahwa istrimu sedang menunggu anakmu yang akan lahir.”

Wajah Prastawa menjadi tegang. Sementara itu dengan suara yang sendat, di sela-sela isaknya istrinya berkata, “Kakang, aku minta maaf. Bukan aku yang sebenarnya ingin memaksamu menuntut hak itu. Aku telah diajari oleh Uwa Kapat Argajalu untuk melakukannya. Bahkan di bawah ancaman. Jika kau menolak, anakku tidak akan pernah lahir hidup.”

“Uwa Kapat Argajalu,” geram Prastawa

Ki Kapat Argajalu tertawa. Katanya, “Sebaiknya kau tidak ragu-ragu, Prastawa. Kau sudah mulai. Ki Demang di Pudak Lawang itu sudah berjanji untuk mendukungmu. Bukankah ia sahabatmu? Karena itu, kau jangan ingkar. Setelah Ki Demang Pudak Lawang mempersiapkan diri, maka kau akan mengkhianatinya? Kau akan mengurungkan niatmu untuk menuntut hakmu itu? Bukankah dengan demikian berarti kau telah menjerumuskan Ki Demang Pudak Lawang ke dalam kesulitan?”

Wajah Prastawa menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Tidak akan ada masalah yang timbul dengan Ki Demang di Pudak Iawang. Aku telah mengatakan segala sesuatunya kepada Paman Argapati. Paman telah berjanji tidak akan mengambil tindakan apa-apa. Persoalannya sudah dianggap selesai.”

“Begitu mudahnya kau mengatakan bahwa persoalannya sudah selesai. Sementara itu, aku sudah mengerahkan murid-muridku ke Pudak Lawang. Para cantrik di bawah pimpinan beberapa putut yang berilmu tinggi sudah siap untuk menggulung seluruh Tanah Perdikan ini. Bahkan Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu pun tidak akan mampu berbuat apa-apa. Segala sesuatunya sudah siap.”

“Uwa kira Mataram akan diam saja, jika ada yang berani melawan Pasukan Khususnya yang ada di sini?”

“Mataram tidak akan bertindak apa-apa. Jika Tanah Perdikan yang baru tetap setia kepada Mataram, maka bagi Mataram tidak ada masalah, siapapun yang akan jadi Kepala Tanah Perdikan.”

“Tetapi perlawanan terhadap Pasukan Khususnya itu?”

“Hal itu dapat dijelaskan. Kau dapat dengan segera menghadap Ki Patih Mandaraka untuk melaporkan perkembangan terakhir di Tanah Perdikan ini. Kau dapat berjanji kepada Ki Patih, bahwa kau akan tetap mengabdi kepada Mataram. Pemberontakan yang kau lakukan terhadap pamanmu, dapat saja kau ulas dengan segala macam cara. Bahkan kau dapat mengatakan bahwa pamanmu justru berniat memisahkan diri dari Mataram, dengan mendapat dukungan Agung Sedayu dan pasukannya yang berkhianat.”

Tetapi Prastawa menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan memberontak.”

“Jika demikian, bukan saja anakmu yang tidak akan pernah lahir hidup. Tetapi kau juga akan kehilangan istrimu. Aku akan membawanya dan melemparkannya kepada orang-orangku yang sekarang sudah berada di Pudak Lawang.”

“Gila. Itu perbuatan biadab yang tidak pantas dilakukan oleh mahluk yang bernama manusia.”

Terdengar Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak itu tertawa serentak. Suara tertawanya melengking tinggi, seperti suara tertawa iblis yang melihat korbannya tersuruk ke dalam dosa.

“Angger Prastawa,” berkata Ki Kapat Argajalu, “karena itu, jangan mencoba mengkhianati aku dan kedua orang kakakmu. Kami mempunyai harga diri yang tinggi, sehingga jika kau akan mengkhianati kami, taruhannya adalah nyawa. Kami tidak berkeberatan berbuat apa saja untuk mempertahankan harga diri kami. Termasuk membawa istrimu pergi.”

“Uwa tidak akan dapat melakukannya selama aku masih mampu melawan kehendak Uwa Kapat.”

“Kekuatan apa yang akan dapat kau pergunakan untuk melawan aku? Jangankan bertiga. Terhadap salah seorang kakakmu saja kau tidak mampu melakukannya. Sementara itu kau tahu, seberapa tinggi ilmuku dan ilmu kakakmu. Agung Sedayu dan Glagah Putih akan segera berlutut jika mereka sempat menyaksikan ilmuku itu.”

Prastawa menggeram. Sementara itu istrinya telah beringsut mendekatinya. Sambil berpegangan lengan Prastawa, istrinya berkata, “Kakang. Aku takut.”

Prastawa menggeram pula. Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan Ki Kapat Argajalu. Apalagi bersama anaknya.

“Prastawa,” berkata Ki Kapat Argajalu kemudian, “marilah kita pergi ke Kademangan Pudak Lawang. Di sana segala sesuatunya sudah disiapkan. Kau tinggal memberi aba-aba saja. Sementara itu segala sesuatunya sudah akan bergerak sendiri.”

Prastawa masih saja berdiam diri. Sementara Ki Kapat itu pun berkata, “Ingat Prastawa. Istrimu akan menjadi taruhan.”

“Biarlah istriku dan bakal anaknya yang akan lahir itu pergi. Jika Paman mau membunuhku, bunuh aku.”

Ki Kapat dan kedua anaknya tertawa pula. Dengan nada tinggi Ki Kapat itu berkata, “Jangan macam-macam, Prastawa. Taruhannya adalah istrimu. Jika aku membiarkannya pergi, maka kau akan berkhianat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ayahmu. Bedanya, jika ayahmu berkhianat terhadap kakaknya, maka kau akan berkhianat kepada uwakmu.”

Jantung Prastawa bagaikan terbakar. Tetapi Prastawa tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat mengorbankan istrinya untuk dilemparkan ke sarang serigala.

“Nah, Prastawa. Kau tidak mempunyai pilihan. Kita akan pergi ke Kademangan Pudak Lawang.”

“Baiklah, Uwa. Besok kita akan pergi ke Kademangan Pudak Lawang.”

“Tidak besok, Ngger. Tetapi sekarang.”

“Sekarang? Malam ini?”

“Ya. Malam ini.”

Prastawa menarik nafas panjang. Kemudian iapun berkata kepada istrinya, “Baik-baiklah di rumah Nyi. Aku tentu akan segera kembali.”

“Kau tidak usah memberikan pesan apa-apa kepada istrimu, karena istrimu akan ikut bersama kita.”

“Istriku harus ikut malam ini?”

“Ya.”

“Tidak mungkin, Uwa. Istriku sedang mengandung tua. Apakah ia dapat berjalan di malam buta ini, menyusuri jalan-jalan setapak di lereng pegunungan?”

“Istrimu harus mencoba. Jika ia gagal, maka ia akan kita tinggalkan di tengah-tengah hutan. Mungkin ada harimau tua yang lapar, karena sudah tidak mampu lagi memburu kijang.”

“Iblis kau, Uwa Kapat.”

“Sekarang kau sebut aku iblis. Tetapi besok kalau kau sudah menjadi Kepala di Tanah Perdikan, kau akan berlutut di hadapanku, sambil mengucapkan seribu terima kasih tanpa henti-hentinya.”

Terdengar gigi Prastawa gemeretak. Tetapi setiap kali ia memandang Ki Kapat Argajalu serta kedua orang anaknya, maka Prastawa harus menerima kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Betapa penyesalan mencekam jantungnya. Tetapi Prastawa tidak dapat memutar waktu kembali ke masa sebelumnya. Yang sudah terlanjur terjadi, sudah terjadi.

“Sekarang berkemaslah, Ngger. Kita akan berangkat menuju masa kejayaanmu di hari-hari mendatang. Jangan sesali, karena kau akan menemukan masa yang indah di dalam hidupmu.”

Tetapi kata-kata itu di telinga Prastawa sudah tidak mempunyai makna lagi. Segalanya dilihatnya sebagai kepalsuan semata-mata.

Tetapi Prastawa tidak dapat mengelak. Dibimbingnya istrinya untuk bangkit berdiri dan pergi ke pintu bilik mereka.

“Jangan kau tutup pintu bilikmu, Prastawa,” berkata Ki Kapat Argajalu.

“Istriku akan membenahi pakaiannya.”

“Biar saja dilakukannya. Kami tidak akan mengintipnya.”

Prastawa menggeram. Tetapi tidak lebih dari geram seekor harimau tua yang tidak bergigi dan berkuku lagi di kakinya. Harimau tua yang sakit-sakitan dan tidak berdaya apa-apa lagi.

Prastawa pun kemudian masuk ke dalam biliknya bersama istrinya. Dengan nada berat Prastawa itu berkata, “Berkemaslah, Nyi.”

Istrinya memandang wajah Prastawa sejenak. Namun kemudian ia mendekapnya sambil berdesis di sela-sela isaknya yang tertahan, “Aku takut, Kakang.”

“Mudah-mudahan Ayah dan Paman dapat mengerti keadaan kita, Nyi.”

“Mereka akan menyangka bahwa Kakang benar-benar telah memberontak. Bahkan Kakang dapat dianggap seorang yang bermuka dua. Apa yang Kakang katakan di hadapan Paman Argapati, ternyata berbeda dengan apa yang Kakang lakukan.”

“Mungkin, Nyi. Tetapi pada saatnya, becik ketitik, ala ketara. Yang baik akan nampak, sedangkan yang buruk pun akan menjadi jelas.”

“Aku minta maaf, Kakang. Bahwa selama ini aku telah ikut memperkeruh hati kakang. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. Orang-orang itu benar-benar akan membunuh anak kita ini, Kakang.”

“Sudahlah. Kau tidak bersalah.”

Istri Prastawa itu tidak sempat berbicara lagi. Terdengar suara Ki Kapat Argajalu, “Angger Prastawa. Apakah kau sudah siap untuk berangkat?”

“Sebentar lagi, Uwa. Istriku harus menyiapkan pakaian ganti. Mungkin besok atau lusa ia baru dapat pulang.”

“Kalian tidak usah merepotkan pakaian ganti. Di Kademangan Pudak Lawang ada sebangsal pakaian yang dapat kalian pakai.”

Prastawa tidak menjawab lagi. Sementara itu, istrinya pun telah membenahi pakaiannya. Disiapkannya sepengadeg pakaian untuk dibawanya.

Sejenak kemudian, keduanya pun meninggalkan rumahnya bersama dengan Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak. Ketika mereka masih berdiri di halaman, Tumpak pun bertanya, “Ayah. Di rumah Adi Prastawa tinggal dua orang suami istri yang menjadi pembantu keluarga Adi Prastawa, Apakah mereka akan kita biarkan menjadi saksi atas kepergian Adi Prastawa?”

“Biar saja mereka menjadi saksi. Besok Ki Argapati juga tahu, bahwa kemenakannya sudah memberontak melawannya dengan landasan kekuatan di Kademangan Pudak Lawang, serta para cantrik dari Perguruan Kapat.”

“Tetapi saksi itu dapat bercerita tentang sikap Adi Prastawa yang sebenarnya.”

Ki Kapat Argajalu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Biarlah keduanya tidak dapat bersaksi.”

“Uwa Kapat Argajalu. Bukankah mereka tidak tahu apa-apa? Kenapa Uwa bertindak bengis terhadap mereka?”

“Seharusnya kau dapat mengerti, Ngger. Bukankah kita berharap agar Ki Gede menganggap bahwa kau benar-benar telah memberontak? Seandainya benar katamu, bahwa setelah kau bertemu dengan pamanmu Argapati kau tidak menuntut apa-apa, maka kepergianmu akan menunjukkan betapa rapuhnya hatimu. Belum lagi sepenginang, sikapmu telah berubah. Temyata bahwa kau telah bersedia ikut aku pergi ke Kademangan Pudak Lawang.”

“Orang itu tidak tahu apa-apa. Ia tidak akan dapat mengatakan apa-apa tentang sikapku dan sikap istriku.”

“Kita tidak usah bersikap seperti perempuan cengeng. Yang sepantasnya kita bunuh, sebaiknya kita bunuh saja.”

“Uwa. Uwa harus sedikit mempunyai belas kasihan. Mungkin tidak kepadaku. Tetapi kepada orang itu.”

Tetapi Ki Kapat Argajalu seakan-akan tidak mendengar. Iapun kemudian berkata kepada Tumpak dan Soma, “Lakukan apa yang baik menurut pendapatmu. Biar aku awasi Angger Prastawa di sini.”

Soma dan Tumpak tidak menunggu perintah itu diulang. Mereka pun kemudian bersiap untuk melaksanakan perintah itu. Namun Soma masih bertanya kepada Prastawa, “Adi Prastawa. Di mana mereka berdua tidur? Di dapur, atau di bilik di sebelah dapur, atau di gandok, atau di mana?”

Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun Tumpak pun segera mendekati istri Prastawa sambil berkata, “Aku seret istrimu untuk menunjukkan tempat mereka, jika kau tidak mau mengatakannya, Adi.”

Prastawa tidak mempunyai pilihan. Iapun kemudian berkata, “Mereka tidur di belakang dapur.”

Soma dan Tumpak pun segera berlari kembali ke pendapa menerobos pintu pringgitan, langsung masuk ke ruang dalam. Lewat serambi samping, mereka langsung pergi ke dapur. Pintu bilik di belakang dapur itu masih tertutup. Dengan serta-merta Tumpak menendang pintu itu, sehingga dengan suara berderak, uger-uger pintu itu roboh. Namun ternyata bilik itu sudah sepi. Mereka tidak menjumpai suami istri itu di dalam biliknya.

“Kemana mereka?” geram Soma.

Keduanya pun kembali ke dapur. Sambil mengumpat-umpat keduanya mencari suami istri pembantu di rumah Prastawa itu.

“Mereka lari ke rumah Paman Argajaya,” berkata Soma.

“Mari kita lihat.”

“Tetapi jika mereka sudah berada di rumah Paman Argajaya, apakah kita masih akan membunuhnya?”

“Kita bunuh Paman Argajaya dan seisi rumah itu.”

“Jika kita bunuh Paman Argajaya, maka orang-orang Tanah Perdikan ini tidak akan percaya bahwa Prastawa telah benar-benar telah terlibat dalam pemberontakan ini. Bagaimanapun juga, ia tentu tidak akan membunuh ayahnya sendiri.”

“Tetapi bagaimana dengan pembantu di rumah Prastawa?” bertanya Tumpak.

“Persetan. Jangan hiraukan. Apa saja tanggapan orang Tanah Perdikan ini, tetapi orang-orang Kademangan Pudak Lawang melihat kenyataan bahwa Prastawa ada di antara kita.”

Akhirnya keduanya mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah Ki Argajaya, yang saling membelakangi dengan rumah Prastawa.

“Aku tidak menemukan mereka, Ayah,” berkata Soma.

“Kemana?”

“Mereka tentu menerobos kebun belakang, pergi ke rumah Paman Argajaya.”

“Biar sajalah. Sekarang kita harus segera pergi dari tempat ini. Jika kedua orang itu melaporkannya kepada Ki Argajaya, mungkin mereka akan mengejar kita. Malam ini aku masih belum ingin membunuh. Mungkin esok atau lusa. Puncak keinginanku adalah membunuh Agung Sedayu.”

Ki Kapat Argajalu pun kemudian berkata kepada Prastawa, “Marilah, Ngger. Kita berjalan terus. Kita akan pergi ke Kademangan Pudak Lawang.”

Malam itu mereka meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyusuri jalan bulak, kemudian berbelok melewati jalan pintas. Jalan yang agak sulit dilalui. Apalagi bagi istri Prastawa yang sedang mengandung. Dengan hati-hati Prastawa membimbing istrinya. Setiap kali Prastawa mendengar istrinya berdesis. Namun istri Prastawa itu berusaha untuk tidak mengeluh. Ia sadar, bahwa keluhannya hanya menambah gejolak di hati suaminya.

Dalam pada itu, kedua orang pembantu Prastawa benar-benar telah menyelinap di kebun belakang lewat pintu butulan, masuk ke kebun belakang rumah Ki Argajaya. Mereka telah memberanikan diri mengetuk pintu. Bahkan cukup keras.

Ki Argajaya terkejut. Iapun segera bangkit. Disambarnya tombak sambil bertanya, “Siapa?”

“Aku, Ki Argajaya. Dakir.”

“Dakir?”

“Ya, Ki Argajaya.”

Ki Argajaya memang dapat mengenali suara itu. Iapun segera membuka pintu samping rumahnya.

Dengan serta-merta Dakir meloncat masuk sambil menarik istrinya. Dengan serta-merta iapun menutup pintu dan menyelaraknya dari dalam.

“Ada apa?” bertanya Ki Argajaya.

“Gawat.

“Apa yang gawat?”

Dakir pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di rumah Prastawa. Ia memberanikan diri mendengarkan pembicaraan antara Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak dengan Prastawa.

“Kapan mereka datang ke rumah itu?”

“Sudah agak lama mereka menunggu. Beberapa saat sejak Ki Prastawa pergi. Mereka bertiga telah membujuk, mengajari dan mengancam Nyi Prastawa, agar Nyi Prastawa mendesak suaminya untuk menuntut haknya. Jika Nyi Prastawa tidak berhasil, maka Ki Kapat dan kedua anaknya mengancam untuk membunuh bayi yang ada di dalam kandungan itu.”

“Gila. Jadi mereka sekarang sudah pergi?” geram Ki Argajaya

“Ya.”

“Aku akan menyusul mereka. Aku harus membebaskan Prastawa dan istrinya.”

“Ki Argajaya,” berkata Dakir, “mereka bertiga. Apalagi mereka membawa Nyi Prastawa yang sedang mengandung. Jika terjadi benturan kekerasan, maka kasihan Nyi Prastawa. Mungkin perempuan itu yang pertama-tama akan menjadi korban.”

“Apakah aku harus membiarkan Prastawa dan istrinya dibawa oleh iblis-iblis itu?”

“Menurut pendapatku yang bodoh ini, Ki Argajaya, sebaiknya Ki Argajaya melaporkannya kepada Ki Argapati. Jika harus menyusul, tentu tidak hanya seorang diri. Apalagi harus diperhitungkan keselamatan Nyi Prastawa.”

“Baik, baik, Dakir. Aku akan menemui Kakang Argapati.”

Ki Argajaya tidak menunggu lagi. Iapun segera menyelinap keluar. Namun Dakir pun berkata, “Aku ikut, Ki Argajaya. Jangan sendiri.” Lalu katanya kepada istrinya, “Kau di sini saja. Selarak semua pintu.”

Ki Argajaya tidak mencegahnya. Berdua mereka berlari-lari kecil menyeberangi halaman. Mereka berhenti sejenak di regol untuk mengamati keadaan. Ternyata jalan yang gelap itu nampaknya sepi. sehingga keduanya pun segera turun ke jalan dan berlari ke rumah Ki Argapati, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh.

Meskipun demikian, ketika mereka sampai di muka gardu perondan, Ki Argajaya tidak berlari lagi. Bersama Dakir ia berjalan saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Nampaknya Ki Argajaya ingin menjaga, agar sikapnya tidak membuat anak-anak muda yang meronda menjadi gelisah.

“Ki Argajaya,” sapa anak-anak muda yang meronda, ketika mereka melihat Ki Argajaya lewat.

“Selamat malam, anak-anak,” sahut Ki Argajaya sambil tersenyum.

“Malam-malam begini, Ki Argajaya akan pergi kemana?”

“Melihat-lihat suasana. Malam terasa sangat sepi.”

Anak-anak muda yang meronda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Ya, Ki Argajaya Malam terasa sangat sepi.”

“Di dalam rumah udara terasa terlalu panas.”

“Ya, Ki Argajaya, Bahkan di luar pun masih terasa udara yang panas itu.”

Ki Argajaya tersenyum. Namun iapun berjalan terus bersama Dakir. Beberapa saat setelah mereka melewati gardu dan berbelok ke kanan„ maka mereka pun telah mempercepat langkah mereka lagi.

“Ki Argajaya itu akan kemana malam-malam begini? Kau lihat, ia berjalan bersama Dakir, pembantu di rumah Prastawa.”

“Ya,” sahut kawannya, “iapun membawa tombak pusakanya.”

Tetapi anak-anak muda itu pun kemudian tidak membicarakannya lagi.

Sementara itu, Ki Argajaya pun telah memasuki halaman rumah Ki Gede. Rumah itu pun nampak sepi. Lampu pringgitan nampak redup dibuai angin malam.

“Apakah Ki Argajaya merasakan udara panas malam ini, seperti dikatakan oleh anak-anak muda itu?”

“Ya,” jawab Ki Argajaya.

“Aku merasa malam ini dingin, Ki Argajaya. Lihat, daun pun basah oleh embun.”

Ki Argajaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, “Entahlah. Tetapi dadaku serasa membara.”

Ki Argajaya pun kemudian naik ke pendapa. Sedangkan Dakir itu pun duduk di tangga. Perlahan-lahan Ki Argajaya mengetuk pintu rumah kakaknya.

“Siapa?” bertanya Ki Argapati yang terbangun. Seperti Ki Argajaya, Ki Argapati pun telah menyambar tombaknya pula.

“Argajaya, Kakang.”

“Kakiku,” desah Ki Gede. Rasa sakit kakinya itu sedang kambuh. Berpuluh tahun sakit itu hilang dan datang silih berganti.

“Aku datang, Argajaya.”

Ki Gede pun segera pergi ke pintu. Ia mengenal suara adiknya itu dengan baik. Karena itu, maka Ki Argapati dengan tidak ragu-ragu telah membuka pintu. Bahkan agak tergesa-gesa. Jika tidak penting, adiknya tidak akan datang ke rumahnya malam-malam seperti itu.

Demikian pintu dibuka, maka Ki Argapati pun mempersilahkan, “Masuk sajalah, Argajaya. Kau sendiri?”

“Tidak, Kakang. Bersama Dakir.”

“Dakir?”

“Ya. Orang yang tinggal bersama Prastawa.”

Ki Argapati pun mengangguk-angguk. Katanya pula, “Marilah, duduklah. Ajak orang itu masuk.”

Sejenak kemudian, Ki Argajaya pun telah duduk di ruang dalam. Dakir pun telah diajaknya masuk pula.

“Kakang,” berkata Ki Argajaya kemudian. Ia tidak ingin membuang-buang waktu. “Prastawa dan istrinya menemui kesulitan. Mereka telah dibawa oleh Kakang Kapat Argajalu.”

“He?”

“Menurut Dakir, ketika Prastawa pulang tadi bersamaku, Kakang Kapat Argajalu telah ada di dalam rumahnya bersama kedua orang anaknya. Ternyata selama ini mereka telah membujuk, memaksa dan bahkan mengancam, agar istri Prastawa merengek kepada suaminya, minta agar Prastawa menuntut hak untuk mewarisi jabatan Kepala Tanah Perdikan ini. Jika ia tidak berhasil, maka anak yang dikandungnya tidak akan pernah lahir dalam keadaan hidup. Menanggapi keinginan istrinya itu, Prastawa hampir menjadi gila. Untunglah aku dapat memaksanya pergi menghadap Kakang tadi, sehingga hati Prastawa yang sebenarnya memang rapuh itu mendapat sandaran yang kokoh. Namun, demikian hatinya menjadi kokoh, maka Kakang Kapat Argajalu tidak memberinya kesempatan lagi untuk lepas dari tangannya. Bersama istrinya yang sebenarnya tidak ingin menuntut apa-apa, Prastawa dibawa ke Kademangan Pudak Lawang.”

Ki Argapati menggeram. “Kasihan Prastawa dan istrinya. Kita tidak dapat membiarkannya.”

“Aku tadi juga hampir saja kehilangan nalar dan langsung menyusul mereka. Untunglah Dakir sempat memperingatkan aku. Selain keselamatanku sendiri, juga keselamatan istri dan anak Prastawa yang sedang ditunggu itu.”

“Tetapi bukankah kita harus melepaskannya?”

“Ya.”

“Baiklah. Kita memang tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa. Prastawa, istri dan anaknya harus diselamatkan.”

“Kita harus membuat rencana yang masak.”

“Aku akan memanggil Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sekarang.”

Ki Argapati itu pun kemudian telah membangunkan seorang pembantu di rumahnya, yang kerjanya sehari-hari memelihara kuda. Kepada orang itu Ki Gede berkata, “Pergilah ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kapan Ki Gede?”

“Sekarang.”

“Sekarang? Malam-malam begini?”

“Ya.”

Wajah orang yang baru bangun dari tidurnya itu menjadi pucat. Katanya, “Pergi ke rumah Ki Lurah itu harus melewati simpang tiga di sebelah banjar itu.”

“Ya. Kenapa?”

“Ada pohon beringin besar di dekat simpang tiga itu, Ki Gede.”

“Kenapa dengan pohon beringin itu?”

“Kata orang, di pohon beringin itu tinggal sosok perempuan cantik yang sering mengganggu. Namun sosok itu tiba-tiba saja dapat berubah menjadi jerangkong atau pocongan.”

“Bukankah kau lahir dan dibesarkan di padukuhan induk Tanah Perdikan ini?”

“Ya, Ki Gede.”

“Seumurmu, pernahkah kau melihat perempuan cantik yang dapat berubah menjadi jerangkong atau pocongan itu?”

Orang itu menggeleng.

“Pergilah bersama Dakir.”

“Bersama Dakir? Dakir siapa?”

“Dakir yang tinggal dengan istrinya di rumah Prastawa.”

“Apakah ia ada di sini?”

“Ya. Ia ada di sini.”

Orang itu pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Jika ada kawannya, aku akan pergi Ki Gede.”

Sejenak kemudian, berdua bersama Dakir orang itu pun pergi ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Ketika mereka melewati simpang tiga, maka orang itu pun selalu berjalan di sebelah yang berseberangan dengan pohon beringin itu. Bahkan orang itu berlari-lari kecil, sehingga Dakir pun ikut berlari-lari kecil pula. Tetapi Dakir mengira bahwa orang itu terlalu tergesa-gesa karena pesan Ki Gede.

Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah sampai ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Dakir pun kemudian mengetuk pintu pringgitan.

Ketukan pintu yang cukup keras itu telah membangunkan seisi rumah. Yang pertama-tama sampai di belakang pintu adalah Ki Lurah Agung Sedayu.

“Siapa di luar?”

“Aku, Ki Lurah, Dakir. Aku yang tinggal di rumah Ki Prastawa bersama istriku.”

Agung Sedayu tidak begitu mengenal orang itu. Meskipun demikian, dengan hati-hati Ki Lurah itu pun telah membuka pintu pringgitan. Beberapa langkah di belakangnya berdiri Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedangkan di sebelah lain, Glagah Putih telah bersiap-siap pula untuk menghadapi segala kemungkinan.

Demikian pintu terbuka, maka Dakir dan pembantu di rumah Ki Gede yang berdiri di sebelahnya mengangguk hormat.

“Ada apa?” bertanya Ki Lurah.

Dakir-lah yang kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di rumah Prastawa, sehingga Prastawa dan istrinya telah dibawa oleh Ki Kapat Argajalu dan kedua anaknya laki-laki.

“Apa kata Ki Gede kemudian?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu kemudian dengan nada berat.

“Ki Lurah di panggil sekarang,” berkata pembantu di rumah Ki Gede itu.

“Baik. Aku akan berbenah diri sebentar.” Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Glagah Putih, kita pergi menemui Ki Gede sekarang. Ternyata peristiwa ini tidak sempat menunggu sampai esok.”

“Apakah kami juga harus ikut, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak. Kau tinggal di rumah bersama Mbokayumu Sekar Mirah, dan mungkin Ki Jayaraga ada di gandok.”

“Atau pergi ke sawah.”

“Sore tadi sampai lewat senja Ki Jayaraga sudah berada di sawah.”

Namun agaknya Ki Jayaraga juga sudah mendengar pintu yang diketuk oleh Dakir. Iapun mendengar bahwa ada orang yang berbicara dengan Ki Lurah di pringgitan. Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah keluar dari biliknya di gandok.

“Ada apa?” bertanya Ki Jayaraga yang naik ke pendapa, menemui kedua orang yang sedang menunggu Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih membenahi pakaiannya.

Dakir memang merasa ragu untuk mengatakannya. Tetapi Rara Wulan yang keluar dari ruang dalam berkata kepada Dakir, “Katakan apa yang kau ketahui.”

Mendengar cerita Dakir, maka Ki Jayaraga pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ternyata orang yang mengaku kakangnya Ki Gede memang iblis itu.”

Sejenak kemudian, Ki Lurah dan Glagah Putih pun telah bersiap. Kepada Ki Jayaraga, Ki Lurah itu berkata, “Aku minta Ki Jayaraga berada di ruang dalam saja bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan.”

“Sukra juga biar berada di dalam pula. Nampaknya orang-orang itu tidak begitu suka kepada Sukra.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi ke rumah Ki Gede disertai Dakir dan seorang pembantu di rumah Ki Gede. Di malam yang gelap, mereka’berempat berjalan dengan cepat melintasi jalan utama yang sepi. Ketika mereka sampai di simpang tiga, pembantu di rumah Ki Gede itu berusaha berjalan di sebelah Dakir, berseberangan pula dengan pohon beringin tua itu.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai di rumah Ki Gede. Mereka pun segera dipersilahkan masuk ke ruang dalam. Sementara itu pembantu di rumah Ki Gede itu pun segera kembali ke biliknya. Tanpa mencuci kakinya ia langsung berbaring di amben panjang. Dalam sekejap orang itu sudah mendengkur.

Sementara itu di ruang dalam, Ki Argapati dan Ki Argajaya yang gelisah telah menceritakan kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih apa yang telah terjadi dengan Prastawa dan istrinya, sebagaimana diceritakan oleh Dakir. Ki Argajaya bahkan sempat menceritakan pula, bahwa hampir saja ia seorang diri menyusul Prastawa.

Dalam kesempatan itu puja Ki Argapati juga menceritakan hasil pertemuannya dengan Prastawa, sebelum Prastawa dibawa oleh Ki Kapat Argajalu.

“Sebenarnya Prastawa telah menemukan dirinya sendiri. Ia sudah dapat melihat bahwa jalan yang ditunjukkan oleh Ki Kapat Argajalu adalah jalan yang sesat,” berkata Ki Argapati.

“Namun sayang, bahwa ia tidak mempunyai kesempatan untuk melangkah kembali,” sambung Ki Argajaya.

“Prastawa tentu akan dimanfaatkan oleh Kapat Argajalu,” geram Ki Argapati.

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengarkan cerita Ki Argapati dan Ki Argajaya itu dengan seksama.

“Itulah peristiwa yang telah terjadi atas Prastawa dan istrinya, Ki Lurah,” berkata Ki Argapati kemudian.

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Kasihan Prastawa dan istrinya itu.”

“Lalu langkah-langkah apakah yang akan Ki Gede ambil untuk mengatasinya?” bertanya Glagah Putih.

“Aku belum mempunyai rencana apa-apa,” jawab Ki Gede. “Aku baru saja mendengar tentang peristiwa ini. Peristiwanya pun baru saja terjadi setelah Prastawa pulang dari sini.”

“Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “malam ini Ki Kapat Argajalu tentu sedang menyiapkan pasukannya. Sebagian anak-anak muda dari Kademangan Pudak Lawang, dan sebagian tentu para pengikut Ki Kapat Argajalu, yang tentu akan disebut sebagai cantrik-cantriknya.”

“Ya.”

“Karena itu, kita juga harus bersiap.”

“Malam ini juga?” bertanya Ki Gede

“Ya. Malam ini juga. Jika besok pagi-pagi pasukan Kapat Argajalu menyerang, kita sudah mempunyai kekuatan, meskipun belum sepenuhnya, untuk menghambat.”

“Baik, Ki Lurah. Aku akan berbicara dengan para pemimpin anak-anak muda, setidak-tidaknya di padukuhan induk ini.”

“Glagah Putih akan dapat membantu.”

“Aku menunggu perintah, Ki Gede.”

“Terima kasih, Ngger. Yang aku perlukan sekarang adalah para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan. Terutama di padukuhan induk ini.”

“Aku akan menemui mereka sekarang juga, Ki Gede. Aku akan memanggil mereka untuk menghadap Ki Gede.”

“Setelah itu, kita akan pergi ke barak, Glagah Putih.”

“Ke barak?”

“Ya. Aku merasa perlu untuk memperingatkan para prajurit di barak itu agar mereka tidak lengah. Apalagi sebagian mereka masih bermalas-malas sepulang mereka dari Demak. Mungkin Ki Kapat Argajalu mempunyai perhitungan khusus bagi para prajurit di barak itu. Jika Ki Kapat Argajalu merasa perguruannya cukup kuat, maka ia akan melumpuhkan prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu, karena Ki Kapat tahu bahwa aku tentu akan melibatkan para prajurit itu.”

“Ya, Kakang.”

Sementara itu, Ki Argapati pun berkata, “Besok aku juga akan memerintahkan dua tiga orang pergi ke Sangkal Putung.”

“Sangkal Putung?”

“Untuk melicinkan jalan yang akan ditempuh, salah satu cara adalah menghilangkan Pandan Wangi dan anaknya laki-laki.”

“Kakang Kapat Argajalu memang sudah kepanjingan iblis,” geram Ki Argajaya.

“Baiklah, Ki Gede,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami minta diri untuk membuat persiapan-persiapan seperlunya.”

“Silahkan, Ngger. Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Angger dan Ki Lurah selama ini membantu Tanah Perdikan Menoreh.”

“Itu sudah kewajiban kami, Ki Gede,” jawab Ki Lurah sambil tersenyum.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun minta diri. Sementara itu, Dakir dan Ki Argajaya masih berada di rumah Ki Gede. Ki Argajaya ingin juga bertemu dengan anak-anak muda di padukuhan induk. Ia ingin menjelaskan keadaan Prastawa yang sebenarnya, agar anak-anak muda itu tidak dengan serta-merta menuduh Prastawa sebagai seorang pengkhianat.

Malam itu, ketika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan di dalam gelapnya malam, di kejauhan masih terdengar suara seseorang yang melantunkan tembang yang ngelangut.

“Suara itu tentu dari rumah Kang Diran,” desis Glagah Putih.

“Ada apa di rumah Kang Diran?”

“Bukankah Yu Diran kemarin lusa melahirkan anaknya yang pertama?”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Anak Yu Diran itu sedikit mengalami kesulitan pada saat lahir. Itulah agaknya maka tetangga-tetangganya berjaga-jaga sambil membaca kidung hampir semalam suntuk. Agaknya demikian pula malam-malam mendatang, jika tidak terjadi keributan karena pokal Ki Kapat Argajalu.”

Ki Lurah Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk.

Malam itu keduanya langsung menemui anak-anak yang sedang meronda di banjar. Ternyata pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan, khususnya anak-anak muda padukuhan induk itu, ada di banjar.

“Ada apa, Kakang?” bertanya anak muda itu ketika Glagah Putih menemuinya.

“Kau dan beberapa kawanmu yang terpenting dipanggil Ki Gede Menoreh.”

“Kapan?”

“Sekarang.”

“Sekarang? Maksudmu malam ini?”

“Ya.”

“Ada apa sebenarnya?”

“Ki Gede akan memberitahukan kepadamu nanti.”

“Ada hubungannya dengan sikap anak-anak muda Kademangan Pudak Lawang?”

“Ya. Tetapi pergilah menemui Ki Gede. Tolong sampaikan pula kepada Ki Gede, bahwa aku dan Kakang Agung Sedayu akan pergi ke barak Pasukan Khusus itu sebentar.”

“Baik. Aku akan pergi menghadap Ki Gede. Tetapi bukankah Ki Gede sendiri yang memanggil aku sekarang? Jika itu bukan kehendak Ki Gede, aku tidak akan berani membangunkannya.”

“Ya. Ki Gede sendiri yang memerintahkan kepadaku untuk memanggil kau dan beberapa orang kawanmu.”

“Baik.”

Saat itu juga anak muda yang menjadi pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan di padukuhan induk itu telah pergi menghadap Ki Gede. Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, Ki Gede masih duduk di ruang dalam dengan Ki Argajaya. Dakir telah pergi ke belakang, tidur di amben bambu yang ada di dapur.

“Menurut Kakang Glagah Putih, Ki Gede memanggil aku dan beberapa orang kawan,” berkata anak muda itu.

“Ya.”

“Kebetulan kami sedang berada di banjar, Ki Gede.”

“Ada sesuatu yang penting yang akan aku beritahukan kepadamu malam ini juga.”

Pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan khususnya di padukuhan induk, serta beberapa orang anak muda yang datang menghadap Ki Gede itu pun kemudian mendengarkan keterangan Ki Gede dengan seksama.

“Sekarang, Prastawa dan istrinya telah dibawa oleh Ki Kapat Argajalu ke Kademangan Pudak Lawang.”

“Maaf, Ki Gede,” berkata anak muda itu, “sejak beberapa hari terakhir, kami memang melihat kegiatan Kakang Prastawa yang agak menyimpang. Maaf, Ki Argajaya, jika hal ini aku katakan, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mendapatkan penjelasan, apakah yang sebenarnya terjadi dengan Kakang Prastawa.”

Ki Argajaya pun kemudian menjelaskan sikap Prastawa yang memang menjadi agak lentur ketika uwaknya, Ki Kapat Argajalu, serta dua anak laki-lakinya, membujuknya. Namun di saat terakhir, Prastawa sudah menetapkan hatinya.

“Tadi, lewat senja, aku dan Prastawa ada di sini sampai jauh malam,” berkata Ki Argajaya, yang kemudian telah menceritakan apa yang telah terjadi menurut cerita Dakir. Anak-anak muda yang menghadap Ki Gede itu mengangguk-angguk.

“Nah, anak-anak,” berkata Ki Gede, “bersiaplah menghadapi segala kemungkinan. Menurut Ki Lurah Agung Sedayu, sebaiknya kalian berjaga-jaga sejak malam ini. Sejak sekarang. Panggil kawan-kawanmu. Tugaskan beberapa orang untuk mengamati keadaan. Mudah mudahan mereka tidak bergerak malam ini.”

“Baik, Ki Gede. Meskipun mereka tidak bergerak malam ini, tetapi sebaiknya kami bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.”

“Hubungi padukuhan-padukuhan terdekat dengan perbatasan Kademangan Pudak Lawang. Tetapi hati-hati.”

“Ya, Ki Gede.”

“Tetapi kalian tidak usah menimbulkan kegelisahan. Kita sudah berada di dini hari. Sebentar lagi orang-orang sudah banyak yang terbangun. Bahkan sudah ada yang turun ke jalan menuju ke pasar sambil membawa hasil kebun mereka untuk dijual.”

“Ya. Ki Gede. Kami akan mendatangi kawan-kawan kami dari rumah ke rumah, agar tidak mengejutkan seisi padukuhan induk ini.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian anak-anak muda itu sudah memencar. Mereka menuju ke gardu-gardu perondan. Anak-anak muda yang meronda kebanyakan masih berada di gardu, meskipun sebagian dari mereka tertidur. Tetapi sudah ada di antara mereka yang mendahului pulang atau pergi ke sawah untuk mengairi sawahnya, karena mereka mendapat giliran air di malam hari.

Dalam pada itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.

Kepada para pemimpin kelompok, Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan beberapa perintah dan pesan. Ki Lurah tahu, menurut pendengarannya, bahwa Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anak laki-lakinya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia berpesan kepada para prajurit untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Betapapun tinggi ilmu mereka, namun mereka tentu juga memiliki keterbatasan.

“Persiapkan kelompok-kelompok kalian untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Pergunakan senjata jarak jauh.”

“Ya, Ki Lurah,” jawab para pemimpin kelompok itu.

“Untuk sementara aku akan berada di padukuhan induk Tanah Perdikan.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Pergunakan isyarat jika perlu. Isyarat khusus yang sudah dikenal dengan baik oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan. Pada saat-saat yang sulit, jika isyarat kalian memanggil, aku akan datang.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Aku yakin, bahwa orang-orang berilmu tinggi di antara mereka tentu tidak terlalu banyak.”

Dengan perintah dan pesan-pesan dari Ki Lurah, maka seisi barak itu pun segera mengadakan persiapan-persiapan. Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka setiap kelompok telah mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi. Jika jumlah di setiap kelompok cukup memadai, disertai dengan persenjataan yang lengkap, maka diharapkan bahwa kelompok-kelompok itu akan mampu menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya mereka akan dapat menghambat gerak mereka.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak terlalu lama berada di barak. Ketika langit menjadi semakin terang, maka Ki Lurah dan Glagah Putih telah memacu kudanya kembali ke padukuhan induk.

Sementara itu. seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, malam itu juga Ki Kapat Argajalu telah mulai bergerak. Dengan mengancam istri dan anak Prastawa yang masih berada di dalam kandungan, Ki Kapat Argajalu telah memperalat Prastawa untuk menggerakkan rakyat di Kademangan Pudak Lawang.

Namun ternyata bahwa Ki Demang Pudak Lawang sendiri sudah mengetahui segala sesuatunya yang berkaitan dengan sikap Prastawa dan Ki Kapat Argajalu.

“Seharusnya kau tidak mengkhianati aku, Prastawa,” berkata Ki Demang yang masih terhitung muda itu. Prastawa merasa bahwa apapun yang dikatakan tentu dianggap salah. Karena itu, maka ia merasa lebih baik tidak menjawab.

“Untunglah bahwa Ki Kapat Argajalu benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan dukungannya kepadamu. Sehingga karena itu, meskipun akhirnya kau sendiri kehilangan gairah untuk berjuang karena hatimu rapuh, namun perjuangan itu sendiri tidak akan terhenti. Aku yang sudah menjadi basah, tidak akan dapat kembali. Aku telah membawa rakyat Kademangan Pudak Lawang ke dalam persiapan yang matang. Bukan hanya persiapan kewadagan, tetapi secara jiwani rakyat Pudak Lawang juga sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika aku mundur dan mengurungkan perjuangan itu, maka namaku akan dicampakkan seperti sampah oleh rakyat kademangan ini.”

Prastawa tidak menjawab. Ia hanya dapat menyesali langkah-langkahnya yang salah karena bujukan uwaknya, Ki Kapat Argajalu. Namun ia tidak ingin mengulangi kesalahannya itu. Ketika ia menemukan jalan kembali, maka ia akan tetap tegak berdiri di atas sikapnya itu. Tetapi segala sesuatunya masih juga tergantung kepada keadaan istri dan anaknya yang masih berada di dalam kandungan itu.

Malam itu juga, Ki Demang Pudak Lawang telah memerintahkan anak-anak mudanya untuk memutuskan segala hubungan dengan kademangan-kademangan lain di Tanah Perdikan. Dengan memaksa Prastawa berdiri di tangga pendapa Kademangan, Ki Demang berkata kepada sekelompok anak muda yang datang kepadanya malam itu, “Perjuangan kita sudah kita mulai. Kita akan mendukung Ki Prastawa untuk mendapatkan tempatnya yang layak. Yang sepantasnya mewarisi kedudukan Ki Gede adalah Prastawa, bukan orang Sangkal Putung yang sombong itu. Karena itum lakukan perintahnya. Putuskan semua hubungan dengan kademangan yang lain di Tanah Perdikan ini. Perkuat penjagaan di padukuhan-padukuhan, terutama yang berada di perbatasan. Kalian sudah melihat sendiri, di banjar, murid-murid dari sebuah perguruan yang besar telah berkumpul untuk mendukung perjuangan kita. Sebagian dari mereka telah berada di banjar-banjar padukuhan yang lain di kademangan ini. Karena itu jangan cemas. Meskipun seandainya Ki Lurah Agung Sedayu menggerakkan prajurit-prajuritnya di barak, mereka tidak akan dapat melawan kemampuan para cantrik yang akan diperbantukan kepada kita. Apalagi Ki Kapat Argajalu dan kedua orang putranya akan tetap bersama Ki Prastawa.”

Anak-anak muda yang berada di halaman rumah Ki Demang itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ketika Ki Demang mengakhiri sesorahnya, maka anak-anak muda itu pun serentak bertepuk tangan dan bahkan bersorak-sorak, “Hidup Prastawa! Hidup Prastawa!”

Namun sorak yang gemuruh itu telah menusuk jantung Prastawa, sehingga terasa betapa pedihnya.

Sejenak kemudian, maka Ki Demang pun berkata, “Sekarang laksanakan apa yang harus kalian kerjakan.”

Anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan. Sebagian dari mereka telah pergi ke padukuhan-padukuhan. Bersama anak-anak muda di setiap padukuhan, mereka telah pergi ke bulak. Mereka telah menutup jalan yang menghubungkan kademangan mereka dengan kademangan-kademangan tetangga mereka. Sedangkan beberapa orang anak muda yang lain, telah menutup parit yang mengalirkan air keluar kademangan.

Orang-orang Kademangan Pudak Lawang yang tidak terlibat langsung dalam gerakan itu pun terkejut pula. Apalagi mereka yang akan pergi ke pasar di dini hari untuk menjual hasil kebun mereka, harus pulang kembali karena tidak ada jalan yang dapat mereka lalui untuk pergi ke pasar di luar kademangan mereka.

“Pergi ke Pasar Ngeblak. Pasar itu cukup ramai, dan terletak di kademangan kita sendiri,” berkata anak-anak muda yang menutup jalan.

Tetapi orang-orang yang akan pergi ke pasar itu tidak langsung pergi ke Pasar Ngeblak. Selain hari itu Ngeblak tidak sedang pasaran, mereka pun telah dicengkam oleh kecemasan. Apakah yang bakal terjadi di kademangan mereka itu?

Dalam pada itu, anak-anak muda di kademangan yang lain pun telah menerima perintah pula untuk bersiaga. Perintah itu mengalir dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh ke kademangan-kademangan yang berada di lingkungan Tanah Perdikan. Kecuali Kademangan Pudak Lawang.

Ketika anak-anak muda di kademangan-kademangan itu melihat anak-anak muda Pudak Lawang menutup semua jalan ke dan dari kademangan mereka, maka mereka telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya, meskipun belum pada tingkat tertinggi. Yang telah sempat dikumpulkan baru sebagian kecil saja dari Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Namun yang sebagian kecil itu telah mampu mengawasi Kademangan Pudak Lawang dari segala arah. Untunglah bahwa anak-anak muda di Pudak Lawang belum bergerak keluar dari kademangan mereka. Semua gerakan mereka masih saja melingkar di dalam kademangan mereka.

Ketika matahari terbit, maka seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi gempar. Terutama kademangan-kademangan yang langsung berbatasan dengan Kademangan Pudak Lawang. Mereka pun segera menyadari, bahwa keadaan menjadi gawat. Apalagi ketika mereka melihat anak-anak muda di mana-mana. Semuanya bersenjata. Sementara itu semua jalan ke dan dari Pudak Lawang telah tertutup. Batang kayu atau bambu, atau apa saja, telah menyilang di tengah-tengah jalan, sehingga tidak dapat dilalui lagi.

Orang-orang Pudak Lawang yang memiliki sanak keluarga di kademangan yang lain dan sebaliknya, menjadi sangat gelisah. Hubungan mereka tentu akan ikut terputus. Bahkan mereka yang anak dan cucunya tinggal di seberang batas yang tertutup itu, tidak akan dapat saling berkunjung lagi.

Dalam pada itu, Ki Gede telah memerintahkan semua bebahu, para Demang dan para pemimpin Pasukan Pengawal untuk mengumumkan agar rakyat tetap tenang.

“Kami sedang berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya,” berkata Ki Gede kepada para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh serta para Demang yang termasuk di dalam lingkungan Tanah Perdikan.

Pagi-pagi, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede, setelah mereka kembali dari barak. Sedangkan Ki Argajaya masih belum pulang sejak semalam.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan, Ki Lurah?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Ki Gede. Jika Ki Gede setuju, biarlah aku dan Glagah Putih pergi ke Kademangan Pudak Lawang untuk bertemu dengan Ki Kapat Argajalu dan Ki Demang Pudak Lawang. Syukur jika kami dapat bertemu dengan Prastawa sendiri.”

“Terlalu berbahaya, Ki Lurah. Mereka bukan orang-orang yang tahu tatanan bahwa utusan itu tidak boleh diganggu keselamatannya. Mereka yang ada di Pudak Lawang adalah orang-orang yang tidak peduli pada tatanan dan paugeran, sehingga mereka akan dapat bertindak sesuka hati mereka.”

“Tetapi harus ada yang datang menghubungi mereka, Ki Gede. Kita tidak dapat begitu saja langsung mengepung dan menggempur Kademangan Pudak lawang. Jika Pudak Lawang berani mengambil langkah-langkah seperti yang mereka lakukan, tentu mereka sudah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Menurut pendapatku, murid-murid atau katakan para pengikut Ki Kapat Argajalu tentu sudah berada di kademangan itu. Jika benturan kekerasan itu terjadi, maka yang akan menjadi korban sebagian terbesar adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri.”

“Tetapi rasa-rasanya sangat berat untuk membiarkan Ki Lurah dan Glagah Putih pergi ke Pudak Lawang.”

“Aku kira mereka tidak akan berbuat apa-apa atas kami berdua, Ki Gede. Pada langkah-langkah pertama, mereka tentu masih berusaha untuk menunjukkan kebersihan perjuangan mereka.”

Ki Gede pun menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Jika Ki Lurah yakin, terserah sajalah kepada Ki Lurah.”

“Aku yakin, Ki Gede.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera minta diri. Namun mereka masih singgah lebih dahulu di rumah Agung Sedayu, untuk memberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga.

Berkuda Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi ke Kademangan Pudak Lawang. Kademangan yang berada di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Pudak Lawang juga disebut sebuah kademangan, tetapi kedudukannya agak berbeda dengan kademangan-kademangan yang berada di luar Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati padukuhan pertama dari Kademangan Pudak Lawang, maka mereka terhenti karena jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu telah ditutup dengan sebatang pohon kayu yang ditebang dan roboh melintang di tengah jalan.

Namun Ki Lurah dan Glagah Putih membawa kudanya turun ke parit dan berjalan beberapa puluh langkah menyusuri parit itu. Baru setelah melewati pohon kayu yang ditebang dan roboh melintang itu, mereka berdua naik ke atas tanggul dan kembali memasuki jalan bulak. Namun beberapa puluh langkah di hadapan mereka, di simpang empat, berapa anak muda yang bersenjata telanjang telah menghadang mereka. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun berhenti.

Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada lebar maju ke tengah jalan sambil menyapa, “Ki Lurah Agung Sedayu dan Kakang Glagah Putih.”

“Ya, Puput.”

“Maaf, Ki Lurah. Tidak ada orang yang boleh memasuki Kademangan Pudak lawang.”

“Kalau bukan kami, Puput. Tetapi ini kami, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. “Bukankah kau mengenal kami dengan baik?”

“Ya, Ki Lurah. Tetapi Prastawa sudah memerintahkan agar semua jalan menuju dan dari Pudak Lawang di tutup.”

“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Demangmu. Demang Pudak Lawang, serta Prastawa.”

“Apa yang akan Ki Lurah bicarakan?”

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tentu tidak dapat aku katakan di sini. Aku hanya dapat mengatakannya kepada Ki Demang Pudak Lawang serta Prastawa. Jika kemudian akan diumumkan, biarlah Ki Demang yang melakukannya.”

Puput itu menjadi ragu-ragu. Namun seorang yang berwajah gelap, bermata tajam seperti mata burung hantu, melangkah maju.

“Tidak ada kecualinya, Ki Lurah. Siapapun tidak boleh masuk. Siapapun, Ki Lurah. Dengar? Apalagi bagi kami orang-orang Tanah Perdikan, Ki Lurah termasuk seorang pendatang. Ki Lurah bukan keluarga yang sejak semula tinggal di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka Ki Lurah tidak akan dapat memasuki Kademangan Pudak Lawang.”

“Jangan bergurau, Simpang. Aku juga pandai bergurau. Tetapi sekarang bukan waktunya untuk bergurau.”

“Ki Lurah mengancam?”

“Mengancam? Bagaimana mungkin kau dapat mengatakan aku mengancam?”

“Lalu apa maksud Ki Lurah? Sekarang, kembali saja ke padukuhan induk. Tidak ada kesempatan khusus bagi orang asing seperti Ki Lurah.”

“Tidak. Aku akan terus,” nada suara Ki Lurah Agung Sedayu meninggi, sehingga anak-anak muda yang menghentikannya menjadi berdebar-debar. Mereka semuanya mengetahui, siapakah Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi Simpang masih juga menggeram, “Jadi Ki Lurah akan membuat kisruh di Pudak Lawang?”

“Tidak. Jika aku akan membuat kisruh, aku tidak akan datang hanya berdua. Aku akan membawa seluruh Pasukan Pengawal Tanah Perdikan dari semua kademangan serta padukuhan induk. Bahkan aku dapat membawa para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan. Jika masih belum cukup, aku dapat minta Mataram mengirimkan prajurit segelar sepapan. Bahkan prajurit dari Demak, Pajang, Pati, Kudus dan Bang Wetan. Kau mendengarnya? Kelak, jika mereka datang dan berdiri saling berhimpitan, maka mereka memerlukan tanah seluas Kademangan Pudak Lawang. Nah, kau tahu artinya?”

Anak-anak muda itu menjadi tegang. Kata-kata Agung Sedayu itu bagaikan sembilu yang menyayat jantung mereka.

“Yang dikatakan itu memang dapat terjadi,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu tidak menghiraukan mereka lagi. Iapun kemudian memberikan isyarat kepada Glagah Putih untuk melanjutkan perjalanan. Kedua ekor kuda itu pun segera berlari. Kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu justru berlari di belakang kuda Ki Lurah Agung Sedayu.

Anak-anak muda yang menutup jalan itu hanya dapat saling berpandangan. Tidak seorangpun yang berani mencegah. Mereka tahu, jika terjadi benturan kekerasan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih akan dapat membunuh mereka semuanya sampai orang terakhir.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih melarikan kuda mereka semakin kencang. Mereka sama sekali tidak berhenti ketika anak-anak yang berdiri di pintu gerbang padukuhan terdekat melambai-lambaikan tangan mereka, sebagai isyarat agar keduanya berhenti. Bahkan ketika kedua orang penunggang kuda itu melarikan kuda mereka semakin kencang, anak-anak muda itu pun berloncatan menepi.

“Siapakah mereka?” bertanya seseorang yang tidak sempat melihat keduanya. Ketika ia mendengar derap kaki kuda berlari dan muncul dari regol halaman rumahnya, orang itu melihat beberapa orang anak-anak muda berdiri dengan nafas terengah-engah. Bahkan ada di antara mereka yang justru terjatuh dan berguling di tanah berdebu.

Seorang di antara anak-anak muda itu pun berdesis, “Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

“Hanya berdua?”

“Ya, hanya berdua. Alangkah beraninya.”

Seorang anak muda yang lain menyahut, “Keduanya mampu mengalahkan kita, anak-anak muda sepadukuhan.”

Tetapi yang lain lagi menyahut, “Tetapi di padukuhan induk kademangan, mereka akan terbentur pada ilmu yang sangat tinggi. Di padukuhan induk ada Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya. Jika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba menyombongkan dirinya di hadapan Ki Kapat Argajalu, maka keduanya akan menjadi endog pengamun-amun.”

Tidak ada yang menyahut. Tetapi beberapa orang di antara mereka bertanya di dalam hati, “Apakah orang yang bernama Ki Kapat Argajalu itu akan dapat mengimbangi kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu?”

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Jika mereka melewati padukuhan, mereka sama sekali tidak mau berhenti, meskipun ada beberapa orang anak muda yang mencoba menghentikan mereka di mulut lorong.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih itu telah sampai di padukuhan induk Kademangan Pudak Lawang.

Mereka terpaksa memperlambat kuda mereka ketika mereka sampai di pintu gerbang padukuhan induk. Yang berdiri di pintu gerbang adalah sekelompok anak-anak muda dengan senjata telanjang di tangan. Beberapa ujung tombak pun telah merunduk. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti di luar pintu gerbang.

“Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih,” terdengar suara seorang anak muda dengan nada berat.

“Kayun,” desis Glagah Putih. Ia tahu bahwa anak muda itu adalah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh di Kademangan Pudak Lawang.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya Kayun.

“Aku akan menemui Ki Demang Pudak Lawang,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ada keperluan apa?”

“Akan aku katakan kepada Ki Demang jika aku sudah menemuinya nanti.”

“Aku adalah pemimpin Pasukan Pengawal Kademangan ini. Bahkan aku-lah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang akan dipimpin oleh Ki Prastawa dan diembani oleh uwaknya Ki Kapat Argajalu.”

“Aku ingin berbicara dengan Ki Demang dan Prastawa.”

“Tentang apa?”

“Aku hanya akan berbicara dengan Ki Demang dan Prastawa.”

 

(bersambung)

Komentar ditutup.