Category Archives: Buku 211 – 220

Buku 211 (Seri III Jilid 11)

  Seorang di antara kedua orang yang datang ke Kademangan Sempulur itu ternyata telah terbunuh. Ketika Raden Rangga kemudian mendekati Glagah Putih, maka iapun berkata, “Bukan aku sendiri-lah yang telah membunuh.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Aku tidak mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.“ Keduanya pun kemudian harus menerima peristiwa yang terjadi itu sebagai sasuatu keharusan. Namun …

Baca lebih lanjut

Buku 212 (Seri III Jilid 12)

  “Ia bersama dengan Raden Rangga pada waktu itu, putra Panembahan Senapati,“ jawab Ki Ajar. “Tetapi keduanya masih sangat muda,“ berkata muridnya, “karena itu, aku kira setidak tidaknya kemampuan Agung Sedayu setingkat atau bahkan lebih tinggi dari saudara sepupunya yang masih muda itu.“ Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga kemampuan mereka …

Baca lebih lanjut

Buku 213 (Seri III Jilid 13)

  Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau memang aneh-aneh saja. Tetapi baiklah. Apapun katamu. Aku terima tantanganmu, dan biarlah murid-muridmu mengenali siapakah istriku, siapakah Pandan Wangi, dan siapakah kedua orang tua itu.“ “Majulah. Aku sudah jemu dengan segala macam bualanmu itu,“ Ki Ajar hampir berteriak. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la masih memegang cambuknya, sementara itu …

Baca lebih lanjut

Buku 214 (Seri III Jilid 14)

  Kiai Gringsing termangu-mangu. Tetapi ia menangkap niat yang terbersit di hati Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun justru bertanya, “Jadi, apakah yang sebaiknya harus kita lakukan menurut pendapatmu?“ Agung Sedayu memandang orang-orang yang berada di ruang itu. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, “Aku memang merasa ragu-ragu. Tetapi ada satu keinginan yang …

Baca lebih lanjut

Buku 215 (Seri III Jilid 15)

  Suara orang-orang yang ada di halaman itu menjadi semakin riuh. Namun suara mereka terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata lantang, “Ki Jagabaya, kau harus menepati janjimu. Kau akan berbicara dengan orang-orang itu di hadapan orang banyak, sehingga pembicaraan kalian akan disaksikan oleh mereka yang ada dihalaman ini.“ “Apakah itu masih perlu?“ bertanya Ki …

Baca lebih lanjut

Buku 216 (Seri III Jilid 16)

  Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Ia memang melihat bekas-bekas luka itu yang sudah menjadi hampir sembuh dan pulih kembali. Tetapi ketiga muridnya itu sama sekali tidak bersikap bermusuhan dengan ketiga orang yang dikatakannya itu. Karena itu, maka gurunya itu pun berkata, “Baiklah. Aku tidak akan mengambil sikap sekarang. Aku ingin menemui mereka, baru kemudian aku akan menentukan, …

Baca lebih lanjut

Buku 217 (Seri III Jilid 17)

  Untuk beberapa saat lamanya Kiai Damarmurti termangu-mangu. Memang ada niatnya untuk berbuat sesuatu. la ingin menunjukkan kepada anak-anak muda itu bahwa kemampuan ilmu Sapu Angin bukan sekedar yang dilihatnya. Tetapi kekuatan ilmu Sapu Angin akan dapat memutar kedua anak muda itu dan melemparkannya tinggi ke udara. Kemudian membantingnya jatuh ke atas bebatuan yang berserakan. Namun …

Baca lebih lanjut

Buku 218 (Seri III Jilid 18)

  Demikianlah, maka yang dapat dilakukan oleh setiap orang hanyalah sekedar menunggu. Ketika hari bergeser menjelang malam, maka para pemimpin kelompok benar-benar telah mengadakan pertemuan untuk menerima perintah-perintah, petunjuk-petunjuk dan jalur yang akan mereka lalui menuju ke sasaran. Beberapa pesan telah diberikan oleh Pangeran Singasari. Bahkan dengan tekanan, “Tidak seorang pun boleh melakukan kesalahan. Kita …

Baca lebih lanjut

Buku 219 (Seri III Jilid 19)

  “Apakah aku harus bersenjata melawan anak-anak?“ katanya di dalam hati. Tetapi orang itu tidak mau menjadi korban dari sikapnya itu. Ketika sekali lagi tongkat Raden Rangga mengenainya, maka ia berdesis, “Kau memang anak iblis. Kau menyakiti aku he.“ Raden Rangga meloncat surut sambil tertawa, “Kau jangan terlalu sombong. Jika kau masih tetap tidak bersenjata, …

Baca lebih lanjut

Buku 220 (Seri III Jilid 20)

  Meskipun demikian Kiai Gringsing juga tidak mau menempuh jalan pegunungan yang rumit, karena dengan demikian maka perjalanan mereka akan menjadi terlalu lama. Namun iring-iringan itu tidak dapat berjalan terus semalam suntuk. Bagaimanapun juga para prajurit itu memerlukan waktu untuk beristirahat. Karena itu menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang tanggap akan keadaan para prajurit itu …

Baca lebih lanjut