Category Archives: Buku 371 – 380

Buku 371 (Seri IV Jilid 71)

Ternyata Rara Wulan pun telah menguasai ilmunya dengan matang. Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengambil ancang-ancang. Ketika Raden Nirbaya siap melontarkan ilmunya untuk yang ketiga kalinya, maka Rara Wulan telah siap melakukannya pula. Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah meluncur dari dua arah yang saling berseberangan. Namun kekuatan dan kemampuan Raden …

Baca lebih lanjut

Buku 372 (Seri IV Jilid 72)

“Aku tidak menantang, Ki Sanak. Kami hanya menolak untuk digeledah.” Tetapi yang tertua di antara laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu pun menyela, “Kenapa kau keberatan? Kami sama sekali tidak berkeberatan. Biarkan mereka menggeledah kita. Dengan demikian, maka persoalannya akan cepat selesai, sehingga kita akan dapat melanjutkan perjalanan.” “Tetapi menggeledah kita itu berarti …

Baca lebih lanjut

Buku 373 (Seri IV Jilid 73)

“Aku mengerti,” Glagah mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Bagaimana menurutmu, Rara?” “Kita segera kembali ke Banyudana, Kakang. Kita akan melihat rumah Wiraraja yang berada di belakang banjar. Mudah-mudahan kita tidak menemukan hal-hal yang tidak wajar di rumah itu.” “Baik, Rara. Aku setuju.” Keduanya pun kemudian segera melangkah kembali ke Banyudana. Mereka kembali dengan sangat berhati-hati. …

Baca lebih lanjut

Buku 374 (Seri IV Jilid 74)

Ki Demang menarik nafas panjang. Sementara itu perempuan itu pun berkata selanjutnya dengan suara yang menjadi semakin garang, “Kami ingin mendengar keputusan Ki Demang dan para bebahu di Sima.” “Nyi Kembang Waja,” suara Ki Demang menjadi sendat, “kami tidak ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Perguruan Kedung Jati. Kami tidak ingin Sima menjadi …

Baca lebih lanjut

Buku 375 (Seri IV Jilid 75)

Ki Demang-lah yang menjawab, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami sudah bertekad untuk melanjutkan perjalanan.” “Pada saat seperti ini kalian masih berada di sini. Tentu kalian tidak akan dapat sampai di Pajang pada wayah sepi bocah. Karena itu, sebaiknya kalian bermalam saja di rumahku” “Terima kasih. Ki Sanak. Terima kasih atas kepedulian Ki Sanak. Tetapi maaf, …

Baca lebih lanjut

Buku 376 (Seri IV Jilid 76)

“Dimana Demang yang terdahulu, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih. “Tidak ada yang tahu.” “Lalu apa perintah Ki Demang yang sekarang, entah itu atas dasar kemauannya sendiri atau perintah dari atas?” “Ceritanya, perintah itu datang dari atas. Dari Kanjeng Adipati di Demak. Bahkan perintah itu sudah dijalankan di semua kademangan dan padukuhan di sebelah utara Pegunungan …

Baca lebih lanjut

Buku 377 (Seri IV Jilid 77)

Ketika kemudian Rara menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak dikenakannya adalah pakaian khususnya, maka orang berwajah gelap itu pun segera menyadari bahwa ia telah berhadapan dengan orang yang mengaku suami istri yang tentu mempunyai bekal ilmu kanuragan. Karena itu maka ia pun kemudian berkata, “Agaknya kalian memang bukan orang kebanyakan. Mungkin kalian sengaja dikirim oleh …

Baca lebih lanjut

Buku 378 (Seri IV Jilid 78)

Wajah orang yang dipanggil Wawu itu menjadi merah bagaikan membara, Giginya gemeretak menahan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya. Suaranya pun menjadi gemetar, “Jadi… jadi kau menolak memberikan pertolongan kepada kami?” “Sudah aku katakan, Kakang, aku tidak menolak. Tetapi aku tidak berani menerima Kakang untuk berada di rumahku.” Kemarahan Wawu rasa-rasanya tidak dapat dikekang lagi. Tetapi …

Baca lebih lanjut

Buku 379 (Seri IV Jilid 79)

Ketika seorang pengawal Senapati yang sudah semakin terdesak itu mencoba untuk menghentikannya, maka sekali lagi Glagah Putih menunjukkan pertanda yang dibawanya dari Mataram. “Apa yang akan kau lakukan?” bertanya pengawal yang sudah terluka bahkan cukup parah itu. “Serahkan Senapati tertinggi dari Demak itu kepadaku.” “Ia seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kau lihat bahwa …

Baca lebih lanjut

Buku 380 (Seri IV Jilid 80)

Satu-satu lawan Glagah Putih itu pun telah terluka. Ikat pinggang Glagah Putih itu selain dapat membentur senjata lawan seperti lempengan baja, ujungnya juga mampu menggores kulit lawan seperti ujung pedang yang sangat tajam. Karena itu maka Ki Jayengwira dan ketiga orang kawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Demikian pula lawan-lawan Rara Wulan. Selendang Rara …

Baca lebih lanjut