Category Archives: Buku 131 – 140

Buku 131 (Seri II Jilid 31)

  Ki Banjar Aking tertawa. Katanya, ”Agung Sedayu yang malang. Aku adalah murid Gunung Kendeng yang lebih tua dari Jandon. Tetapi pada saat terakhir, aku harus mengakui bahwa Jandon telah menemukan banyak sekali kemungkinan di dalam perantauannya. Ia datang untuk menuntut balas kematian adik kandungnya. Bukan saja adik seperguruannya. Tentu nilai dendamnya jauh lebih mahal …

Baca lebih lanjut

Buku 132 (Seri II Jilid 32)

  Dalam kebimbangan, ternyata Agung Sedayu telah menghentakkan segenap kekuatannya, segenap kemampuannya, dan segenap daya ungkapnya atas ilmu yang dimilikinya. Ia tidak ingin mengalami kesulitan yang lebih parah lagi pada keadaan yang demikian. Meskipun ia tidak berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan serta merta, namun ia berharap bahwa ia akan dapat mempergunakan kemampuannya itu …

Baca lebih lanjut

Buku 133 (Seri II Jilid 33)

  Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, ”Ki Sanak. Aku memang tidak menyangka, bahwa kuburan ini dijaga. Karena itu, ketika kalian tiba-tiba saja muncul, aku menjadi bingung dan menjawab asal saja tanpa memikirkan akibatnya.” ”Sebut, siapa kalian,” penjaga yang bertubuh paling tinggi membentak semakin keras. ”Begini Ki Sanak,” jawab Pangeran Benawa, ”sebenarnya kami hanya …

Baca lebih lanjut

Buku 134 (Seri II Jilid 34)

  Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru menggeleng sambil berkata, ”Kali ini tidak. Dendam Gembong Sangiran tidak akan dapat dibeli. Tetapi jika kita dapat memanfaatkannya, dengan dorongan janji beberapa keping emas, aku kira ia akan lebih garang lagi terhadap padepokan kecil itu. Tetapi tentu tidak sekarang, meskipun Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum sembuh. Tetapi di padepokan …

Baca lebih lanjut

Buku 135 (Seri II Jilid 35)

  Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ki Lurah itu pun kemudian berkata, ”Ki Sanak, segera bersiaplah untuk mati. Aku sadar, bahwa kalian bukan orang-orang yang mudah menyerah menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga gawatnya Karena itu, maka aku persilahkan kalian bersiap untuk bertempur. Kita mempunyai waktu cukup tanpa diganggu oleh orang lain.” ”Ternyata kalian …

Baca lebih lanjut

Buku 136 (Seri II Jilid 36)

  “Ya. Ia sudah mati. Bukankah berita kematian itu sudah tersebar sampai ke segala sudut tanah ini?” “Jadi kematiannya sudah pasti?” desis Ki Lurah Branjangan. “Ya,” jawab orang itu. “Seperti yang dikatakan Prabadaru?” sekali lagi Ki Lurah Branjangan mendesak. “Ya,” orang itu menjawab semakin lambat. “Baiklah. Baiklah. Aku mengucapkan banyak terima kasih. Juga atas keteranganmu …

Baca lebih lanjut

Buku 137 (Seri II Jilid 37)

  “Mengembalikan keadaan ini seperti semula,” jawab orang itu, “adalah kebetulan saja kau dan orang-orang Pajang itu bertemu dalam satu kepentingan. Dan adalah kebetulan pula aku melihat kau mengikuti perjalanan Swandaru. Marilah kita anggap, bahwa kebetulan-kebetulan itu tidak pernah terjadi. Biarlah mereka bertempur. Anak-anak Sangkal Putung dengan Ki Waskita, sementara orang-orang Pajang bersama orang yang …

Baca lebih lanjut

Buku 138 (Seri II Jilid 38)

  Orang berwajah muram itu menegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku mengerti. Pringgabaya adalah saudara seperguruanmu. Biarlah orang lain melakukannya. Tetapi untuk melakukan yang lain pun kau ternyata tidak mampu.” “Apa?” geram Pringgajaya. “Isi padepokan itu masih utuh. Orang-orang yang kau anggap akan dapat menyelesaikan mereka ternyata justru dihancurkan. Kau tidak akan dapat mengharap …

Baca lebih lanjut

Buku 139 (Seri II Jilid 39)

  Kedua orang pengawal itu termangu-mangu. Namun Ki Tandabayalah yang menggeram melihat sikap pengawal yang datang meloncati dinding itu. Seolah olah pengawal itu tidak mengacuhkannya, meskipun ia melihat kawan-kawannya telah terluka. “Aku bunuh kau!” Ki Tandabaya hampir berteriak. Demikian kata-katanya terucapkan, maka ia pun segera meloncat menikam pengawal yang baru saja memasuki halaman itu lewat …

Baca lebih lanjut

Buku 140 (Seri II Jilid 40)

  Demikian mereka muncul dari balik padukuhan kecil, maka di hadapan mereka terbentang tepian berpasir dan rumpun-rumpun batang ilalang. Melalui jalan setapak, kuda mereka mendekati arus sungai yang seperti biasanya, berwarna coklat lumpur. Tidak ada yang menarik perhatian mereka di saat mereka menyeberang sungai. Tukang satang yang membawa mereka di atas rakit bersama-sama beberapa penyeberang …

Baca lebih lanjut