Category Archives: Buku 321 – 330

Buku 321 (Seri IV Jilid 21)

Sementara itu, Agung Sedayu pun telah bertanya kepada Sabungsari, apakah ia akan kembali ke Jati Anom atau untuk sementara masih akan berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sabungsari nampak menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Lurah. Aku akan singgah di Mataram.” “Bagus,” sahut Agung Sedayu, “aku hampir menanyakannya.” “Aku mohon Ki Lurah menyampaikannya kepada …

Baca lebih lanjut

Buku 322 (Seri IV Jilid 22)

“Terima kasih Paman.” Dalam pada itu, setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan yang dihidangkan, Ki Widura pun telah mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk melihat-lihat keadaan padepokan kecil itu. Ternyata Ki Widura tidak saja memelihara padepokan peninggalan Kiai Gringsing itu. Tetapi Ki Widura juga telah mengembangkannya. Padepokan itu menjadi semakin luas. …

Baca lebih lanjut

Buku 323 (Seri IV Jilid 23)

Lawannya itu pun mulai menjadi gelisah. Kekalahan saudara seperguruannya bukan karena kelengahan atau karena saudara seperguruannya itu meremehkan lawannya. Tetapi ilmu perempuan itu memang lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh saudara seperguruannya. Karena itu, maka saudara seperguruan Kebo Remeng yang bertempur melawan Sekar Mirah itu menjadi sangat berhati-hati. Ia tidak mau mengalami nasib yang …

Baca lebih lanjut

Buku 324 (Seri IV Jilid 24)

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tidak. Tidak apa-apa.” Yang mendengarnya pun tertawa pula. Namun Glagah Putih pun kemudian minta diri untuk meninggalkan pertemuan itu, karena ia berjanji untuk bertemu dengan Prastawa. “Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Agung Sedayu. “Tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi kami akan pergi ke padukuhan Sembung untuk menghadiri upacara pernikahan pemimpin pengawal …

Baca lebih lanjut

Buku 325 (Seri IV Jilid 25)

Mangesthi menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kau benar, Wiyati. Aku memang belum waktunya untuk meninggalkan padepokan ini.” Demikianlah, Wiyati pun segera mempersiapkan dirinya. Kawan-kawannya pun segera mengerumuninya. Pada umumnya mereka mengucapkan selamat kepada Wiyati yang mendapat kesempatan untuk terjun langsung ke kancah perjuangan. “Aku iri kepadamu, Wiyati,” berkata seorang kawannya. “Semoga aku dapat menjalankan tugas ini dengan …

Baca lebih lanjut

Buku 326 (Seri IV Jilid 26)

“Sudahlah. Jangan ganggu aku lagi. Aku akan pulang.” “Tunggu! Kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini. Ikut aku. Uangku lebih dari sebangsal.” “Buat apa uang sebangsal? Belilah perempuan di simpang empat itu kalau ada yang bersedia kau beli. Tetapi aku tidak.” “Jangan keras kepala. Kau akan menyesal.” Wiyati mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, …

Baca lebih lanjut

Buku 327 (Seri IV Jilid 27)

Tetapi Pandan Wangi tidak memburunya. Dibiarkannya perempuan itu mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. “Kau memang sombong, perempuan cantik,” geram perempuan itu, “kau beri kesempatan aku bersiap menghadapi seranganmu. Kau sengaja memberi waktu kepadaku. Tetapi kau akan menyesal. Waktu yang sekejap yang kau berikan kepadaku ini akan mengubah segala-galanya.” “Aku tahu, kau bukan perempuan yang bengis. Kau hanya …

Baca lebih lanjut

Buku 328 (Seri IV Jilid 28)

“Baik, Kakang.” “Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berjalan lancar.” “Semoga, Kakang.” Iring-iringan itu pun meluncur semakin cepat. Mereka sempat memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat sejenak di pinggir Kali Opak. Namun kemudian kuda-kuda mereka pun segera berlari kembali melanjutkan perjalanan. Lewat Candi Sari, Cupu Watu dan Sambisari mereka menyusuri jalan di pinggir Alas Tambak Baya, yang tidak …

Baca lebih lanjut

Buku 329 (Seri IV Jilid 29)

“Jadi maksudmu aku harus memberontak kepada Mataram?” “Apa boleh buat.” “Seberapa kekuatan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, seandainya Ki Gede dan Kakang Agung Sedayu bersedia? Namun aku tidak akan pernah dapat membayangkan bahwa aku harus melawan Mataram. Apalagi Kakang Agung Sedayu.” “Kakang Swandaru dapat memanfaatkan adik perempuan Kakang itu. Sekar Mirah harus dapat mempengaruhi …

Baca lebih lanjut

Buku 330 (Seri IV Jilid 30)

Namun Swandaru tidak mau menyerah kepada kenyataan itu. Ia justru melihat Agung Sedayu menjadi lengah. Karena itu, maka Swandaru pun telah meloncat sambil mengayunkan cambuknya. Swandaru sempat melihat Agung Sedayu meloncat. Namun tiba-tiba saja Swandaru itu berdiri bagaikan membeku. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia melihat bukan hanya seorang Agung Sedayu yang meloncat …

Baca lebih lanjut