Buku 001 (Seri I Jilid 1)

BAGIAN I
MASA-MASA MUDA

Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan di luar seakan-akan tercurah dari langit.

Agung Sedayu masih duduk menggigil di atas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan.

“Aku akan berangkat,” tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara, dengan nada rendah.

Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jangan, jangan Kakang berangkat sekarang.”

“Tak ada waktu,” sahut kakaknya, “sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan, menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi Paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba.”

“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” potong adiknya.

“Tak ada orang lain,” sahut kakaknya.

“Tetapi…” bibir Sedayu gemetar.

“Aku harus pergi.” Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya.

“Jangan! Jangan!” adiknya berteriak, “Aku takut!”

Baca lebih lanjut

Buku 002 (Seri I Jilid 2)

 

 

Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Ki Demang itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik ke pendapa.

Demikian mereka naik ke pendapa, dada Agung Sedayu pun berdesir tajam. Dilihatnya di pendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang di antaranya tumbuh jenggot, cambang dan kumis yang lebat di wajah-wajah mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar di atas tikar selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. Sedang di sudut pendapa, Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak, dan di dinding-dinding tersangkut pedang, perisai dan keris.

Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata.

Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa di pinggangnya pun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi kakaknya memintanya untuk membawa keris itu.

Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju ke pringgitan. Di pringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Di ruangan kecil itulah Ki Widura sedang tidur pulas.

“Di situlah Adi Widura sedang beristirahat,” berkata Ki Demang itu.

Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah kata Paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang di saat-saat yang begini.

Baca lebih lanjut

Buku 003 (Seri I Jilid 3)

 

 

“Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura.

Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu, “Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang ini?”

Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung Sedayu. Namun karena itu, segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya, “Apakah kau yang menamakan dirimu Kiai Gringsing?”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Darimanakah kau tahu bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?”

Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya bukan topeng yang dipakainya itu.

Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira. Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah maju sambil berkata, “Benarkah kau Kiai Gringsing yang di Bulak Dawa itu?”

Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing.”

Baca lebih lanjut

Buku 004 (Seri I Jilid 4)

 

Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian.

Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata, “Widura, orang-orang seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya.”

Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak ada suatupun yang dapat dilakukannya.

Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi meneruskan, “Apabila kelak Sidanti akan sampai di tempat itu, maka kaupun akan ikut serta mukti pula bersamanya.”

Widura menggeleng tegas. Jawabnya, “Biarlah aku di tempatku. Apapun yang akan aku alami.”

Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya, “Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”

Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab, “Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain.”

Baca lebih lanjut

Buku 005 (Seri I Jilid 5)

 

 

Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekali.

Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula, “Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung Sedayu.”

“Ya Kakang” sahut Sidanti.

Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri.

Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati.”

Hudaya dan Citra Gati yang berdiri di belakang Widurapun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.

Baca lebih lanjut

Buku 006 (Seri I Jilid 6)

 

Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai di mana puncak kemampuan adiknya.

Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya.

Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya. “Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya.”

Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai keseimbangan dengan kelincahannya.

Baca lebih lanjut

Buku 007 (Seri I Jilid 7)

 

 

Ketegangan menjadi semakin memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan sendiri-sendiri. Sidantipun kemudian sudah bergerak diikuti oleh beberapa orang yang kebingungan, siap memasuki padesan di hadapannya.

Tetapi terdengar Citra Gati berteriak, “Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam usaha yang sia-sia. Kalau kita pasti Untara ada di depan kita, maka biarlah kita pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan itu tipis sekali.”

“Kau jangan menghinanya” sahut Sidanti keras-keras. “Apakah kau sangka Untara terluka? Untara adalah seorang yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya. Karena itu, maka tak akan ia terluka dan terbaring di antara orang-orang yang luka. Aku hormati dia, aku kagumi dia.”

Kata-kata itu masuk akal pula. Karena itu beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu. Tetapi Citra Gati tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara telah terlanjur memasuki desa itu, maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba kepada mereka yang mengikutinya.

Dalam ketegangan yang dipenuhi oleh keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali Sidanti berkata, “Taati perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian.”

“Tidak!” Citra Gati tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya. “Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang memiliki kedudukan tertua di antara kalian. Ketika Kakang Widura meninggalkan Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang diserahi pimpinan.”

Baca lebih lanjut

Buku 008 (Seri I Jilid 8)

 

 

“Jangan panggil dengan sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura.

“Ya” sahut Agung Sedayu. “Aku lebih senang.”

“Baiklah” sahut Swandaru. “Marilah, minumlah.”

Widura dan Agung Sedayupun minum pula air jahe yang hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin banyak mengalir membasahi tubuh mereka.

Dalam pada itu Ki Tanu Metir itupun bertanya pula, “Dari manakah Angger berdua malam ini. Apakah seperti biasanya nganglang setiap gardu perondan?”

“Ya” sahut Widura. “Dan ke Gunung Gowok. Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah mencobakan ilmu yang paling akhir.”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi Swandaru sehingga dengan serta-merta berdesah, “Ah.”

Mereka menjadi semakin tidak mengerti ketika Widura berkata, “Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itupun tidak dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.

Baca lebih lanjut

Buku 009 (Seri I Jilid 9)

 

 

Sampai di gubug Alap-Alap Jalatunda Tohpati berhenti. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya telinganya sambil bergumam lirih, “Siapa itu Paman?”

Sumangkar menarik pundaknya tinggi-tinggi. Katanya, “Itulah Raden, gambaran kehidupan kita.”

Tohpati menggeram. Didengarnya sekali lagi suara tertawa perempuan seperti seekor kucing tercekik. Kemudian terdengar suara Alap-Alap Jalatunda yang muda itu, “Jangan merajuk anak muda. Tinggalkan istrimu disini. Ia tidak akan berkurang cantiknya.”

Yang terdengar kemudian ringkik perempuan. Katanya, “Kembalilah dulu Kang, aku ingin tinggal di sini dahulu.”

Tohpati itu kemudian melihat anak muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang. Anak muda yang pernah diajaknya bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua dan bernama Nyai Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruk-suruk dengan wajah yang suram. Sekali ia berpaling, dan terdengar istrinya berkata, “Kang, aku akan segera kembali membawa sepotong daging rusa untuk Kakang. Bukankah Kakang senang makan daging rusa?”

Laki-laki itu mengangguk. Dan kembali ia berjalan meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara tertawa istrinya dan Alap-Alap Jalatunda. Di antara suara tertawa itu terdengar Nyai Pinan berkata, “Suamiku adalah laki-laki yang baik hati”

Laki-laki muda yang bertubuh kurus itu berhenti sesaat mendengar pujian istrinya. Namun kemudian ia berjalan kembali.

Baca lebih lanjut

Buku 010 (Seri I Jilid 10)

 

 

Tetapi dengan berita itu, maka Sangkal Putung harus lebih berhati-hati lagi. Lawan mereka kini bukan saja Tohpati dan Sumangkar yang setiap saat dapat menyusup ke dalam lingkungan mereka, tetapi juga Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang apabila mereka kehendaki mereka akan dapat berjalan-jalan di daerah kademangan Sangkal Putung yang mereka kenal dengan baik. Karena itu maka mereka harus lebih berwaspada apabila malam-malam yang akan datang salah seorang atau dua tiga orang dari mereka nganglang kademangan.

Sehari itu, cerita tentang Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Tohpati dan Sumangkar telah tersebar luas di antara laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung. Sengaja berita itu disebarkan sejauh-jauh mungkin supaya mereka menjadi semakin berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Gardu-gardu dengan demikian menjadi semakin cermat mengawasi keadaan. Penjaga-penjaga menjadi lebih hati-hati dan penghubung-penghubungpun selalu berwaspada apabila tiba-tiba mereka bertemu dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai hantu-hantu yang berkeliaran, siang maupun malam.

Tetapi malam berikutnya, bukan saja berita tentang Sidanti dan Tohpati yang ternyata berkeliaran, dan yang suatu saat mereka saling bertemu dan bertempur, tetapi datang pula seorang pengawas menghadap Untara. Seorang prajurit dalam jabatan sandi.

Untara, Widura, Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru, dengan dada yang berdebar-debar menerima orang itu.

Baca lebih lanjut